TANYALAH HATI NURANIMU

Rasulullah SAW bersabda; "Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya." [HR Imam Ahmad bin Hanbal]

MENGAPA AKU BELAJAR AL-QURAN?

Rasulullah SAW bersabda; "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. - Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Quran itu pada hari Kiamat akan memberikan syafa’at kepada pembacanya" [HR. Bukhari - Muslim]

RAHASIA DI SEKITAR DUNIA IBUKU

Rasulullah SAW bersabda; "Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: masuklah engkau dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai." [HR Imam Ahmad bin Hanbal]

SUDAH BAIKKAH SHALATKU?

Rasulullah SAW bersabda: "Yang pertama kali akan dihisab dari seseorang pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik, akan baik pula seluruh amalnya. Jika shalatnya rusak akan rusak pula seluruh amal perbuatannya." [HR. At-Thabrani - Dari Anas RA]

AJARI KAMI ILMU YANG BAIK

Rasulullah SAW bersabda; "Mendidik anak lebih baik bagimu daripada setiap hari bersedekah satu sha - Tidak ada pemberian seorang ayah untuk anaknya yang lebih utama daripada (pendidikan) akhlak yang baik." [HR. At-Tirmidzi Dari Jabir bin Samurah r.a dan Amr bin Sa’id bin Ash r.a]

Minggu, 27 Juni 2010

APA ITU HADITS HASAN?






MUKADIMAH

Yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagian ke-dua dari klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li DzÃĒtihi (Hasan secara independen). Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama kali mempopulerkannya, kitab mana saja yang banyak memuat bahasan tentangnya dlsb? Itulah yang akan kita coba ulas secara ringkas tapi padat, insya Allah. 

Definisi 
(a). Secara bahasa (etimologi) Kata Hasan merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn yang bermakna al-JamÃĒl, kecantikan, keindahan. 
(b). Secara Istilah (teriminologi) Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara ShahÃŪh dan Dla’ÃŪf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:

1. Al-KhaththÃĒby
“Setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan digunakan oleh kebanyakan ulama dan mayoritas ulama fiqih.” [Ma’ÃĒlim as-Sunan:I/11] 

2. At-Turmudzy
“Setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak SyÃĒdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan HadÃŪts Hasan.” [JÃĒmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519] 

3. Ibn Hajar  
“Khabar al-AhÃĒd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak SyÃĒdzdz, maka inilah yang dinamakan ShahÃŪh Li DzÃĒtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li DzÃĒtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29) Syaikh Dr.MahmÃŧd ath-ThahhÃĒn mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits ShahÃŪh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-KhaththÃĒby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li DzÃĒtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’ÃŪf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.” Definisi Terpilih Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu: “Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (SyudzÃŧdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.” Hukumnya Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits ShahÃŪh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. 


Oleh karena itulah, hampir semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-MutasyaddidÃŧn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-MutasÃĒhilÃŧn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits ShahÃŪh seperti al-HÃĒkim, Ibn HibbÃĒn dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (TadrÃŪb ar-RÃĒwy:I/160) Contohnya Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘ImrÃĒn al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300) Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (TsiqÃĒt) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab TahdzÃŪb at-TahdzÃŪb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari ShahÃŪh ke Hasan. 

Tingkatan-Tingkatannya
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan. Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan: Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin HakÃŪm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-TÃŪmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih. Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’ÃŪf-annya, seperti hadits al-HÃĒrits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan HajjÃĒj bin Artha’ah, dan semisal mereka.

Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahÃŪh sanadnya” atau “Hasan sanadnya” 

1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.” 

2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya SyudzÃŧdz atau ‘Illat. 

Apabila seorang ahli hadits berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan SyudzÃŧdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut. Akan tetapi, bila seorang HÃĒfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga ShahÃŪh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada SyudzÃŧdz. 

Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama Selainnya, “Hadits Hasan ShahÃŪh” 

Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits ShahÃŪh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-SuyÃŧthy, ringkasannya adalah: 

Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan ShahÃŪh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.” 

Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan ShahÃŪh menurut sekelompok ulama yang lain.” Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.

Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawy Dalam Kitab “MashÃĒbÃŪh as-Sunnah”

Di dalam kitabnya, “MashÃĒbÃŪh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-ShahÃŪhain atau salah satunya dengan ungkapan, “ShahÃŪh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-NasÃĒ`iy, Sunan Abi DÃĒ`Ãŧd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn MÃĒjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits ShahÃŪh, Hasan, Dla’ÃŪf dan Munkar. 

Oleh karena itulah, Ibn ash-ShalÃĒh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini (“MashÃĒbÃŪh as-Sunnah”) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan 
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits ShahÃŪh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah: 

Kitab JÃĒmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan ShahÃŪh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya. 

Kitab Sunan Abi DÃĒ`Ãŧd. Pengarang buku ini, Abu DÃĒ`Ãŧd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. 

Dengan demikian, maka berdasarkan hal ini bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu DÃĒ`Ãŧd. 

Di dalam kitabnya,  Sunan ad-DÃĒruquthny, beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis 


SUMBER 
Kitab TaysÃŪr Musthalah al-HadÃŪts 
karya Dr. MahmÃŧd ath-ThahhÃĒn, h. 45-50

0 KOMENTAR:

Tulis Komentar