TANYALAH HATI NURANIMU

Rasulullah SAW bersabda; "Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya." [HR Imam Ahmad bin Hanbal]

MENGAPA AKU BELAJAR AL-QURAN?

Rasulullah SAW bersabda; "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. - Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Quran itu pada hari Kiamat akan memberikan syafa’at kepada pembacanya" [HR. Bukhari - Muslim]

RAHASIA DI SEKITAR DUNIA IBUKU

Rasulullah SAW bersabda; "Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: masuklah engkau dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai." [HR Imam Ahmad bin Hanbal]

SUDAH BAIKKAH SHALATKU?

Rasulullah SAW bersabda: "Yang pertama kali akan dihisab dari seseorang pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik, akan baik pula seluruh amalnya. Jika shalatnya rusak akan rusak pula seluruh amal perbuatannya." [HR. At-Thabrani - Dari Anas RA]

AJARI KAMI ILMU YANG BAIK

Rasulullah SAW bersabda; "Mendidik anak lebih baik bagimu daripada setiap hari bersedekah satu sha - Tidak ada pemberian seorang ayah untuk anaknya yang lebih utama daripada (pendidikan) akhlak yang baik." [HR. At-Tirmidzi Dari Jabir bin Samurah r.a dan Amr bin Sa’id bin Ash r.a]

Kamis, 29 Juli 2010

KEJUJURAN SANG IMAM




Selepas sholat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka tokonya, di pusat kota kufah. Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual.

Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka, dengan maksud agar kalau ada yang akan membeli, ia dapat memperlihatkannya.

Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke tokonya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.

“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,” tawar Imam Hanafi tersenyum ramah.

Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di pojok kiri. “Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya.

“Berapa harganya?” tanyanya sambil memandangi pakaian itu. "Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.”

Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu.

“Sayang sekali.” perempuan itu tampak kecewa. “Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?” “Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.”
“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,” katanya.

“Tidak apa-apa, terima kasih,” sahut Imam Hanafi tetap tersenyum.

Di dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya.

Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak. Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali.

Imam Hanafi lalu menghampirinya. “Silakan, baju itu bahannya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.”

"Memang, saya pun sangat menyukainya.” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. “Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,” katanya lagi.

Imam Hanafi merasa iba. Orang itu begitu menyukai baju ini, "saya akan menghadiahkannya untuk ibu,” kata Imam Hanafi.

“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?”

“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.”
Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut.

“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi.” Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih.

Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar.
Selain berdagang, ia mempunyai majelis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan tokonya pada seorang sahabatnya sesama pedagang.

Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu. “Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separo harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk.

Imam Hanafi pun berangkat ke majelis pengajian. Sesudah hari gelap ia baru kembali ke tokonya.

“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi tokomu. O, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,”kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya.

“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit cacat?” tanya Hanafi.
“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.” sahabatnya sangat menyesal.

Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian uangnya.

“Ya Allah! Aku sudah menzhaliminya,” ucap Imam Hanafi.

Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui. Imam Hanafi amat sedih.

Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan uang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya.

“Kuniatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian bercacat itu,”
ucap Imam Hanafi. Ia merasa tidak berhak terhadap uang hasil penjualan pakaian itu.

Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi tokonya pada orang lain.

Keesokan harinya Imam Hanafi kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah uang sebanyak 10.000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya bisa berguru pada Imam Hanafi di majelis pengajiannya.

Imam Hanafi menyimpan uang sebanyak itu disudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan uang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin.

Seorang tetangganya merasa aneh melihat hadiah uang itu masih utuh. “Kenapa Anda tidak memakainya atau menyedekahkannya?” tanyanya.

“Tidak,  Aku khawatir uang itu adalah uang haram,” kata Imam Hanafi.

Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. Uang itu pun tetap tersimpan disudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah uang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.

0 KOMENTAR:

Tulis Komentar