Sumber dari segala sumber hukum yang utama  atau yang pokok di dalam agama Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Selain sebagai sumber hukum, Al-Qur’an dan As-Sunnah juga merupakan  sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada ilmu yg  mutakhir telah tercantum di dalamnya. Oleh kerananya siapa yang ingin  mendalaminya, maka tidak akan ada habis-habisnya keajaibannya.
Untuk mengetahui As-Sunnah atau hadith-hadith  Nabi, maka salah satu dari beberapa bahagian penting yang tidak kalah  menariknya untuk diketahui adalah mengetahui profil atau sejarah  orang-orang yang mengumpulkan hadith, yang dengan jasa-jasa mereka kita  yang hidup pada zaman sekarang ini dapat dengan mudah memperoleh sumber  hukum secara lengkap dan sistematis serta dapat melaksanakan atau  meneladani kehidupan Rasulullah untuk beribadah seperti yang  dicontohkannya.
Abad ketiga Hijriah merupakan kurun waktu  terbaik untuk menyusun atau menghimpun Hadith Nabi di dunia Islam. waktu  itulah hidup enam penghimpun ternama Hadith Shahih yaitu: 
- Imam  Bukhari
- Imam  Muslim
- Imam  Abu Daud
- Imam  Tirmidzi
- Imam  Nasa’i
- Imam  Ibnu Majah 
I. IMAM BUKHARI
Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith  itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut  diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh  tersebut di atas adalah Amirul-Mu’minin fil-Hadith (pemimpin orang  mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama lengkapnya  adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn  Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai  Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M),  cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah  pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk  Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja’fi, gubernur Bukhara. Pada  masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan  “al-Mughirah al-Jafi.”
Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat  data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar  ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik.  Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat,  begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh  al-Kabir.
Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu,  ia juga sangat wara’ (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan  taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam  harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun  yang subhat.” Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan  terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan  wara’. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari  ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat  Jum’at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun  kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang  saleh menagis dan selalu berdo’a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya  bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi  Nabi Ibrahim yang berkata:
“Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit  putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat  do’amu yang tiada henti-hentinya.”
Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya  sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan  meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan  dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan  tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah  nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang  cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat,  teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah  banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang  sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui  para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar  hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16  tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui  pendapat-pendapat ahli ra’yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan  mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
 
Pengembaraannya
 Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami’as-Shahih dan pendahuluannya.
Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam  Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan.  Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir,  muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap  tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah  berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh  yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi perjalanan  dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri,  hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia  Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: “Saya telah mengunjungi  Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali,  menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat  dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk  menemui ulama-ulama ahli hadith.”
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota  negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering  menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk  menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri  Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.
 
Kemashuran Imam Bukhari
 Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.
Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.”
 
Imam Bukhari Difitnah
 Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa “Al-Qur’an adalah makhluk.” Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: “Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari  fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan  mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang  lafaz-lafaz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari  orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai  tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab:  “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan  manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Yang dimaksud  dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang  dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca  dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli  tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa  Bukhari perbah berkata: “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa  bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan  makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar,  Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan  inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya  Allah.” Demikian juga ia pernah berkata: “Barang siapa menuduhku  berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah  pendusta.”
Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya,  sehingga ia berkata: “Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku  di negeri ini.” Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari  negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah  yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar  dari negeri tersebut.
Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari  pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh  seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara  besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km)  dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai  manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di  negerinya itu, ia mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.
Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi.  Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin  Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang  terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara,  mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya  dua buah karangannya, al-Jami’ al-Shahih dan Tarikh. Imam Bukhari  keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu  agar disampaikan kepada Khalid, bahawa “Aku tidak akan merendahkan ilmu  dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan,  tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak  mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di  sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak  menyembunyikan ilmu.” Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik  pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang  dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an  untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir  dari negerinya sendiri, Bukhara.
Imam Bukhari, kemudian mendo’akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.
 
Wafat
 Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo’a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.
Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui  keluasan wawasan hadith muridnya ini: “Di antara ciptaan Tuhan pada  masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana.”
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim  surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di  negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka.  Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak  dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya,  ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa  itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.
Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.
 
Para Guru Imam Bukhari
 Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahawa dia menyatakan: “Aku menulis hadith yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan.” Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.
 
Keutamaan Dan Keistimewaan Imam Bukhari
 Kerana kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung hadithnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma’qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari.
Dalam bidang kekuatan hafalan, ketazaman  pikiran dan pengetahuan para perawi hadith, juga dalam bidang ilat-ilat  hadith, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan  kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada  Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadith lainnya, untuk menghafal  dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa  Imam Bukhari berkata: “Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000  buah hadith shahih, dan 200.000 hadith yang tidak shahih.”
Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat  dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli  hadith di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya.  Mereka mengambil 100 buah hadith, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan  matannya (diputar balikkan), matan hadith ini diberi sanad hadith lain  dan sanad hadith lain dinbuat untuk matan hadith yang lain pula. 10  orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10  pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang  pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadith kepada Bukhari, dan  setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadith, Imam Bukhari  menjawab dengan tegas: “Saya tidak tahu hadith yang Anda sebutkan ini.”  Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke  sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara  hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam Bukhari tidak akan  mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan  para ulama berkata satu kepada yang lainnya: “Orang ini mengetahui apa  yang sebenarnya.”
Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan  semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam  Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: “Hadith pertama  yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadith kedua  isnadnya yang benar adalah beginii…”
Begitulah Imam Bukhari menjawab semua  pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadith.  Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan  selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab  semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh  sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadith-hadith yang  sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang  salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi  mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat  berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan  kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya  sebagai “Imam” dalam bidang hadith.
Sebahagian hadirin memberikan komentar  terhadap “uji cuba kemampuan” yang menegangkan ini, ia berkata: “Yang  mengagumkan, bukanlah kerana Bukhari mampu memberikan jawaban secara  benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya  dalam menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara  berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji,  padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya  satu kali.”Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan kemampuan Imam Bukhari  mengemukakan 100 buah hadith secara berurutan seperti urutannya si  penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya  satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah  diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.
Imam Bukhari pernah berkata: “Saya tidak  pernah meriwayatkan sebuah hadith pun juga yang diterima dari para  sahabat dan tabi’in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran  sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga  saya tidak meriwayatkan hadith sahabat dan tabi’in, yakni hadith-hadith  mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah  Rasulullah SAW.”
Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan  hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika  semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya.  Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa’id tentang Imam Bukhari, ketika  menyatakan : “Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadith  dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh,  ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang  begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.”
Imam al-A’immah (pemimpin para imam) Abu  Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari  dengan mengatakan: “Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui  hadith, yang melebihi Muhammad bin Isma’il.” Demikian pula semua  temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: “Khurasan belum  pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadith melebihi Muhammad bin  Isma’il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut  menuju Iraq yang melebihi kealimannya.”
Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap.  Bahawa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu  mencium antara kedua matanya dan berkata: “Biarkan saya mencium kaki  tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadith dan dokter ahli  penyakit (ilat) hadith.” Mengenai sanjungan diberikan ulama  generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar  yang menyatakan: “Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari  masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan  nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi.”
Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan  kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek;  kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu  namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat.  Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun  terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para  pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup  besar. Diceritakan ia pernah berkata: “Setiap bulan, saya berpenghasilan  500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab,  apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam  berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik  para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui  kebohongannya, ia cukup berkata: “Perlu dipertimbangkan, para ulama  meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya.” Perkataan yang  tegas tentang para perawi yang tercela ialah: “Hadithnya diingkari.”
Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik  para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadith yang diriwayatkan  seseorang hanya kerana orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat  diceritakan bahawa ia berkata: “Saya meninggalkan 10.000 hadith yang  diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan  pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam  pandanganku, perlu dipertimbangkan.”
Selain dikenal sebagai ahli hadith, Imam  Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan  fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak  terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat  mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat  hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan  dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi’i dan  kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia  memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan  ‘Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah  seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri,  kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadith,  bukan sebagai ahli fiqh.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.
 
 Karya-Karya Imam Bukhari
Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut:
- Al-Jami’  as-Shahih (Shahih Bukhari).
- Al-Adab  al-Mufrad.
- At-Tarikh  as-Sagir.
- At-Tarikh  al-Awsat.
- At-Tarikh  al-Kabir.
- At-Tafsir  al-Kabir.
- Al-Musnad  al-Kabir.
- Kitab  al-’Ilal.
- Raf’ul-Yadain  fis-Salah.
- Birril-Walidain.
- Kitab  al-Asyribah.
- Al-Qira’ah  Khalf al-Imam.
- Kitab  ad-Du’afa.
- Asami  as-Sahabah.
- Kitab  al-Kuna. 
Sekilas Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH (Shahih Bukhari)
 Diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebahagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadith Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ as-Shahih.”
Dalam menghimpun hadith-hadith shahih dalam  kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara  ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadith-hadithnya dapat  dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh  untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh  secara pasti keshahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Beliau  senantiasa membanding-bandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan, satu  dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya  paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi  hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun  kitab Al-Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadith selama 16 tahun.”  Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan  salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahawa ia  mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata: “Aku susun kitab  Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke  dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh  kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini  betul bahawa hadith itu benar-benar shahih.”
Maksud pernyataan itu ialah bahawa Imam  Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram  secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok  bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar.  Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-hadith dan menempatkannya pada  bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan  tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.
Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah  bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai  kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Kerananya tidak  menghairankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para  ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai “Buku Hadith  Nabi yang Paling Shahih.”
Diriwayatkan bahawa Imam Bukhari berkata:  “Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-Jami’ as-Shahih ini kecuali  hadith-hadith yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadith shahih kerana  khawatir membosankan.”
Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadith yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.
 
Jumlah Hadits Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH
Al-’Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-”Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.
Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar  di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari,  menyebutkan, bahawa semua hadith shahih mawsil yang termuat dalam Shahih  Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah  hadith. Sedangkan matan hadith yang mu’alaq namun marfu’, yakni hadith  shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara  sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua hadith  Shahih Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-ulang sebanyak  7.397 buah. Yang mu’alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’ sebanyak  344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang  berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini  diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang  diriwayatkan dari tabi’in dan ulama-ulama sesudahnya.
II. IMAM MUSLIM
Penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya ‘Ulama’ul-Amsar.
 
 Kehidupam Dan Perjalanannya Mencari Ilmu
 Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Dalam lawatannya Imam Muslim banyak  mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadith kepada mereka. Di  Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di  Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia  belajar hadith kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di  Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir  berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama  ahli hadith yang lain.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk  belajar kepada ulama-ulama ahli hadith, dan kunjungannya yang terakhir  pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering  datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya.  Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli,  ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya  hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahihnya maupun dalam kitab  lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith yang diterima dari Az-Zihli  padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia  tidak meriwayatkan hadith dalam Shahihnya, yang diterimanya dari  Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim,  yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Shahihnya hadith-hadith  yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka  sebagai guru.
Wafat
 Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Para Guru Imam Muslim
 Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.
 
Keahlian Dalam Hadits
 Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith shahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadith, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan  pengakuan dari para ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib  al-Baghdadi berketa, “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari,  memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya.” Pernyataan  ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia  mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab,  serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadith hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadith terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadith itu cukup banyak jumlahnya.
 
Karya-Karya Imam Muslim
 Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya:
- Jami’  as-Shahih (Shahih Muslim).
- Al-Musnadul  Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadith).
- Kitabul-Asma’  wal-Kuna.
- Kitab  al-’Ilal.
- Kitabul-Aqran.
- Kitabu  Su’alatihi Ahmad bin Hambal.
- Kitabul-Intifa’  bi Uhubis-Siba’.
- Kitabul-Muhadramin.
- Kitabu  man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
- Kitab  Auladis-Sahabah.
- Kitab  Awhamil-Muhadditsin.
Kitab Shahih Muslim
 Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami’ as-Shahih, terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Shahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh  kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi,  menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat  itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam  menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya  perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa,  maka lahirlah kitab Shahihnya.
Bukti konkrit mengenai keagungan kitab itu  ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan  riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah berkata:  “Aku susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadith.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang  berkata : “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu  selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadith.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari  Abi Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu sebanyak  4.000 buah hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu  bahawa perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang  penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung  hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya:  “Tidak setiap hadith yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni  dalam Shahihnya. Aku hanya mencantumkan hadith-hadith yang telah  disepakati oleh para ulama hadith.”
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan  gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini  menulis hadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan  berputar-putar di sekitar kitab musnad ini.”
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap  hadith yang diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya  sebagai berikut : “Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadith dalam  kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan  sesuatu hadith daripadanya melainkan dengan alas an pula.”
Imam Muslim di dalam penulisan Shahihnya  tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul  kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah Shahih Muslim yang  sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang  kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab  dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya. 
III.  IMAM ABU DAWUD
Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini  giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith  pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi  hingga kini. 
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin ‘Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
 
Perkembangan Dan Perlawatannya
Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal.
Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi “Ka’bah” bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
 
Guru-Gurunya
 Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu ‘Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abu’l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id.
 
Muridnya (Para Ulama Yang Mewarisi Haditsnya)
Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa’id al-A’rabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma’syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘atirah, maka ia menilainya baik.”
 
Akhlak Serta Sifat-Sifatnya Yang Terpuji
 Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara’ dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam  perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta  keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki’, Waki  menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai  Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan ia menyerupai Ibn  Mas’ud. Sedangkan Ibn Mas’ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam  sifat-sifat tersebut.”
Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini  menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah  sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya  lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang  melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:
“Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.
 
Pujian Para Ulama Kepadanya
 Abu Dawud adalah juga merupakan “bendera Islam” dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
“Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk  hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih  utama melebihi dia.”
Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang  alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: “Ini adalah Sahal,  datang berkunjung kepada tuan.”
Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan  mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: “Wahai Abu Dawud, saya ada  keperluan keadamu.” Ia bertanya: “Keperluan apa?” “Ya, akan saya  utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat  mungkin,” jawab Sahal. “Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu,”  tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: “Jujurkanlah lidahmu yang engkau  pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku  dapat menciumnya.” Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian  dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan,  Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: “Hadith telah  dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud.”  Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan  atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia  telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang  masih rumit dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
 
Mazhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu’l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya’la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi’i.
Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.
 
Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu Dan Ulama
 Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata:
“Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad.  Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib,  tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang  pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk  masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia  pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu  Dawud menemuinya seraya berkata: “Gerangan apakah yang membawamu datang  ke sini pada saat seperti ini?”
“Tiga kepentingan,” jawab Amir. “Kepentingan  apa?” tanyanya.
Amir menjelaskan, “Hendaknya tuan berpindah  ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai  penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan  makmur kembali. Ini mengingat bahawa Basrah telah hancur dan  ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji.”
Abu Dawud berkata: “Itu yang pertama,  sebutkan yang kedua!”
“Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab  Sunan kepada putra-putraku,” kata Amir.
“Ya, ketiga?” Tanya Abu Dawud kembali.
Amir menerangkan: “Hendaknya tuan mengadakan  majlis tersendiri untuk mengajarkan hadith kepada putra-putra khalifah,  sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum.”
Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak  dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat  melarat, dalam bidang ilmu sama.”
Ibn Jabir menjelaskan: “Maka sejak itu  putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya  saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian  mereka dapat belajar bersama-sama.”
Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi  para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para  ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah  dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.
Wafat
 Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
 
Karya-Karyanya
Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
- Kitab  AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
- Kitab  Al-Marasil.
- Kitab  Al-Qadar.
- An-Nasikh  wal-Mansukh.
- Fada’il  al-A’mal.
- Kitab  Az-Zuhd.
- Dala’il  an-Nubuwah.
- Ibtida’  al-Wahyu.
- Ahbar  al-Khawarij.
Di antara karya-karya tersebut yang paling  bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab As-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.
 
Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
 Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami’ Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada’il a’mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya  mencantumkan hadith-hadith shahih semata sebagaimana yang telah  dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula  kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha’if yang tidak terlalu  lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk  ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan  kelemahannya.
Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat  diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai  jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya.  Abu Dawud menulis sbb:
“Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah  SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi  sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini.  Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan  yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah  hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan.  Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai  hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadith  yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut  bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith  yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak  mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur’an, yang harus dipelajari selain  daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup  menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadith tersebut adalah:
Pertama: “Segala amal itu  hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia  niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan  Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang  siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan  yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia  hijrah kepadanya itu.”
Kedua: “Termasuk kebaikan Islam  seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”
Ketiga: “Tidaklah  seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk  saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya.”
Keempat: “Yang halal itu  sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya  terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak  orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan  agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam  syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat  penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang.  Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan.  Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang  diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging,  jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak  pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati.”
Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam  suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan  keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah  dan duniawiah.
- Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan  bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama  dan dunia.
- Hadith ketiga mengatur tentang hak-hak  keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain,  meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan  benci, dari hati masing-masing.
- Hadith keempat merupakan dasar utama bagi  pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai  sifat wara’, yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan  masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk  menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat  hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan  kebahagiaan.
Pendapat Ulama Terhadap Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud
 Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.
 
Hadits-Hadits Abu Dawud Yang Mendapat Kritik
 Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis “palsu”, namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.
Jumlah Hadits Sunan Abu Dawud
 Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.
Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi  beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab.  Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak  dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.
IV. IMAM TIRMDZI
Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam  Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith  dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab  Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus  Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith  terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
 
Perkembangan Dan Lawatannya
 Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
 
Guru-Gurunya
 Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka.
 
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-MuridnyaHadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.  
Kekuatan HafalannyaAbu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata:  Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya  telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang  guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya  mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu.  Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada  padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan  dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan  dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadith, dan ia mengabulkan  permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang dihafalnya. Di  sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas  yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun.  Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’  Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan  itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun  membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah  engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian  saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun  kemudian membacakan empat puluh buah hadith yang tergolong hadith-hadith  yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Cuba ulangi apa yang ku bacakan  tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia  berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
 
 Pandangan Para Kritikus Hadits Kepadanya
 Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:
“Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang  mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah  (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat mendalam.
 
 Fiqh Tirmidzi Dan Ijtihadnya
 Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan  kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari  al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan  membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah  suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya  kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu  diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai  berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata: “Apabila  seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar  dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan  (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak  dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i,  Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata:  “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan  muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang  pertama (muhil).”
Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma  dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda  seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada  kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang  dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun  ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta  benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
 
Karya-Karyanya
 Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
- Kitab  Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
- Kitab  Al-‘Ilal.
- Kitab  At-Tarikh.
- Kitab  Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
- Kitab  Az-Zuhd.
- Kitab  Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
 
Sekilas Tentang AL JAMI'
 Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan  menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya  dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan  terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi  memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan  menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab  ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan  Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut  ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak  hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan  hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan  kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam  kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan  pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat  yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki  nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak  shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan  keadaan setiap hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata:  “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.”  Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai  pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat  Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut”  dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada  yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadith ini adalah mansukh dan ijma ulama  menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di  atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk  meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz)  hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan  kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta  sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn Munzir.
Hadith-hadith da’if dan munkar yang terdapat  dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal  (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat  dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan  mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan  persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan haram. 
V. IMAM NASA'I
Imam Nasa’i juga merupakan tokoh ulama  kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim,  Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa’i, Sunan  us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai  dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul  Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu  ‘Abdurrahman Ahmad bin ‘Ali bin Syu’aib ‘Ali bin Sinan bin Bahr  al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga  lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama  terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa’ pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
 
 Pengembaraannya
 Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur’an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang ‘Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.
Nasa’i merasa cocok tinggal di Mesir.  Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan  seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya.  Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia  mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid.  Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyyah r.a. Tindakan  ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa’i agar menulis sebuah buku  tentang keutamaan Mu’awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai  keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan “Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu’awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?” Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
 
Wafat
 Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa’i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja’far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
 
Sifat-Sifatnya
 Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan  gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap  konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah  penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia  dikenal senantiasa “menjaga jarak” dengan majlis sang Amir, padahal ia  tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka,  hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan  pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah  mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa’i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
 
Fiqh Nasa'i
 Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa’i  bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam  bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan  perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahawa Nasa’i bermazhab Syafi’i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’i, rahimahullah.
 
Karya-Karyanya
 Imam Nasa’i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
- As-Sunan  ul-Kuba.
- As-Sunan  us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
- Al-Khasa’is.
- Fada’ilus-Sahabah.
- Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah  Kitab As-Sunan.
Sekilas Tentang Sunan Nasa'i
Nasa’i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa’i Sa’id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, ‘Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami’.
Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh para ulama  yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani,  penulis tiga buah Mu’jam, Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir  as-Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu  Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa’i.
Ketika Imam Nasa’i selesai menyusun kitabnya,  As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir  itu bertanya: “Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?” “Ada yang  shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,”  jawabnya. “Kalau demikian,” kata sang Amir, “Pisahkan hadith-hadith  yang shahih saja.” Atas permintaan Amir ini maka Nasa’i berusaha  menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya  dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini  disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang  lain.
Imam Nasa’i sangat teliti dalam menyususn  kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: “Kedudukan kitab Sunan  Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana  sedikit sekali hadith dha’if yang tedapat di dalamnya.”
Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa  hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi  dan dinilainya sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut  tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan  mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar  hadith yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa’i terdapat hadith-hadith  shahih, hasan, dan dha’if, hanya saja hadith yang dha’if sedikit sekali  jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi  kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu  sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud  pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith  shahih.
Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan  sebagai salah satu kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam  pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan  ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa’i dalam penyusunannya adalah tidak  meriwayatkan sesuatu hadith yang telah disepakati oleh ulama kritik  hadith untuk ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan  kepada Nasa’i, misalnya dikatakan, “hadith riwayat Nasa’i”, maka yang  dimaksudkan ialah “riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan  ul-Kubra”, kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis.  Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud  Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: “Ketahuilah,  pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam  Al-Atraf-nya, hadith ini diriwayatkan oleh Nasa’i”, maka yang  dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan  us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India,  Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan  dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh  kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi,  “diriwayatkan oleh Nasa’i” adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita  tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang  tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan  tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan  kembali, bahawa Sunan Nasa’i adalah salah satu kitab hadith pokok yang  menjadi pegangan.
VI. IMAM IBNU MAJAH 
Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang  besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi  pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak  menghafal hadith.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin  Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab  bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam nama beliau adalah dengan huruf  “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh  mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat  sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar  kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr  dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada  tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya  dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan  oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.
Pengembaraannya
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktifitas Periwayatannya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain. Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya
Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang  kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia  mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.”
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya  sebagai seorang ahli hadith besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan  tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.
Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus  hadith berkata dalam Bidayah-nya: “Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah  pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan  bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya,  serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu’.”
Karya-Karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis,  di antaranya: 
- Kitab  As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith  yang Pokok).
- Kitab  Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti  diterangkan Ibn Kasir.
- Kitab  Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Sekilas Tentang Sunan Ibnu MajahKitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal. 
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab  dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500  bab. Sedan jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah hadith.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika  fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya  ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam  bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah,  kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibnu Majah Di Antara Kitab-Kitab Hadits
Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn  Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadith Pokok” mengingat darjat Sunan ini  lebih rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.
Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang  pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok),  yaitu:
- Shahih  Bukhari, karya Imam Bukhari.
- Shahih  Muslim, karya Imam Muslim.
- Sunan  Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
- Sunan  Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
- Sunan  Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
- Sunan  Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah. 
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah  sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir  al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan  dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz  ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya  Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula  oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan  memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab  Al-Muwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini  lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan  Ibn Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda  dengan Al-Muwatta’, yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali,  hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan  Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah  (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang  berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari  as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil  Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin  Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi  asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Nilai Hadits-Hadits Sunan Ibnu Majah
Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih,  hasan, dan da’if (lemah), bahkan hadith-hadith munkar dan maudhu’  meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah  martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan  ini yang paling banyaknya hadith-hadith da’if di dalamnya.
Oleh kerana itu tidak sayugianya kita  menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn  Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih  dahulu mengenai keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith  dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika  tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Sulasiyyat Ibnu Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah  hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia  dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang  dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.
[Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah]
 
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar