وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً إِلَّا الْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَوَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Manusia cenderung bersikap haluu'a. Apakah itu? Ia ditafsirkan dengan dua ayat berikutnya (20--21): sebuah perangai buruk suka berkeluh kesah lagi kikir. Ketika ia tertimpa kesulitan, hatinya terasa sempit, goncang, dan mudah berputus asa. Ketika beroleh nikmat dan kebaikan, ia bersikap kikir. Yaitu, kikir dari hak Allah dan kikir dari hak sesama.
Tentu tidak semua manusia berperilaku demikian. Seorang muslim semestinya tidak haluu'a, mengapa? Karena, seorang muslim itu ajeg menjaga salatnya. "Kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya (daimun)." Dengan salat, hati menjadi tenteram. Juga, dengan salat perbuatan keji dan mungkar dapat ditahan. Maka, seorang mukmin yang salatnya ajeg dan benar, ia tidak gampang berkeluh kesah. Karena, kesulitan atau kemudahan baginya mengandung hikmah. Sebagian sahabat bahkan memandang kesulitan sebagai nikmat, seperti perkataan Abu Dzar al-Ghifari, "Miskin lebih aku sukai daripada kaya, dan sakit lebih aku sukai daripada sehat."
Seorang muslim semestinya tidak haluu'a, mengapa? Karena, seorang mukmin menyadari pada hartanya ada hak bagi orang yang meminta (as-sail) dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (al-mahruum). "Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa." As-sail adalah orang yang meminta. Terhadap orang semacam ini terdapat hak bagi dia, seperti dalam sabda Rasulullah SAW., "Bagi orang yang meminta-minta terdapat hak, meskipun ia datang mengendarai kuda." (HR Abu Dawud dari hadis Sufyan ats-Tsauri, dalam riwayat lain disandarkan kepada Ali bin Abu Thalib).
Adapun al-mahrum, seperti didefinisikan Ibnu Abbas, adalah orang yang bernasib buruk. Ia tidak memiliki bagian dalam baitul mal, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki pekerjaan yang dapat menopang. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Orang miskin bukanlah orang yang keliling dan engkau memberinya sesuap atau dua suap makanan dan sebutir atau dua butir kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya sedangkan orang lain tidak mengetahuinya sehingga bersedekah kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi, seorang muslim semestinya dermawan, tidak kikir dan tidak bakhil. Karena, seorang muslim senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, seperti dalam ayat berikut.
Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, "Manakah yang lebih kalian cintai: harta ahli waris atau harta sendiri?" Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, tentu tidak seorang pun di antara kita kecuali lebih mencintai hartanya sendiri." Rasulullah meneruskan, "Sesungguhnya harta seseorang ialah apa yang telah ia gunakan, dan harta ahli waris adalah apa yang belum ia gunakan." (HR Bukhari).
Abu Bakar al-Jazairi menceritakan sebuah kisah yang mengagumkan di dalam Minhajul Muslim Dikisahkan bahwa Ummul Mu'minin Siti Aisyah r.a. mendapat kiriman uang sebanyak 180.000 dirham dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh beliau uang itu disimpan di mangkuk dan dibagikan kepada manusia hingga tak tersisa. Pada sore harinya, Aisyah berkata kepada budak wanitanya, "Antarkan makanan berbuka untukku." Budak wanita tersebut menghidangkan roti dan minyak kepada Aisyah. Beliau berkata kepada budak, "Mengapa engkau tidak mengambil uang satu dirham dari uang yang aku bagikan tadi buat membeli daging untuk buka puasa kita?" Budak tersebut menjawab, "Jika Anda mengingatkanku sejak tadi, aku pasti melakukan."Dalam kekinian, betapa banyak kita temukan dua tipe masusia di atas. Tipe orang miskin meminta-minta karena kondisi memaksa, juga tipe orang yang tidak memiliki kekayaan, penghasilan, pekerjaan, namun ia enggan untuk meminta. Terhadap tipe pertama, akan lebih mudah bagi kita untuk mengetahuinya, namun terhadap tipe kedua, diperlukan sedikit perhatian untuk mengetahuinya. Di sinilah perlunya sikap peka terhadap lingkungan. Budaya modernisme sering berdampak pada menjadikan orang berperilaku egois, tidak mengenal tetangga, tidak mengenal lingkungan. Setiap hari ia makan enak, namun ia tidak mengetahui bahwa orang-orang di sekitarnya tengah kelaparan.
Terlebih al-mahrum, tidak mesti mereka kelompok marginal yang tidak mampu bekerja. Kadang mereka kelompok profesional yang tidak tertopang situasi dan sarana yang mendukung untuk bekerja, seperti tidak adanya lapangan pekerjaan atau tertimpa bencana perang. Dalam konteks ini, perlu aktualisasi kedermawanan bagi muslim yang "kuat", tentu tidak sekadar berpikir memberi ikan, melainkan harus juga berpikir bagaimana memberi kail. Wallahu a'lam bish-shawab.
(Dari Abu Zahrah).
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar