Segala puji bagi Allah Yang membaguskan susunan ciptaan-Nya, Yang menciptakan langit dan bumi, mengatur rezeki dan makanan, Yang memberi Petunjuk melalui Kitabullah,Yang memberi pahala atas perbuatan-perbuatan baik. Shalawat dan salam bagi junjungan kita, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beserta ahlul Baitnya, para shahabat dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Jumat, 25 Juni 2010
BEBERAPA KESALAHAN TERHADAP AL-QURAN
Para pembaca rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Yang membaguskan susunan ciptaan-Nya, Yang menciptakan langit dan bumi, mengatur rezeki dan makanan, Yang memberi Petunjuk melalui Kitabullah,Yang memberi pahala atas perbuatan-perbuatan baik. Shalawat dan salam bagi junjungan kita, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beserta ahlul Baitnya, para shahabat dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Segala puji bagi Allah Yang membaguskan susunan ciptaan-Nya, Yang menciptakan langit dan bumi, mengatur rezeki dan makanan, Yang memberi Petunjuk melalui Kitabullah,Yang memberi pahala atas perbuatan-perbuatan baik. Shalawat dan salam bagi junjungan kita, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beserta ahlul Baitnya, para shahabat dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
CARA MEMAHAMI NASH AL-QURAN
Para pembaca rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Yang membaguskan susunan ciptaan-Nya, Yang menciptakan langit dan bumi, mengatur rezeki dan makanan, Yang menurunkan Kitabullah Al-Qur'anul Kariim, Yang menghidupkan dan mematikan, serta Yang memberi pahala atas perbuatan-perbuatan baik. Shalawat dan salam bagi junjungan kita, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, pemilik mukjizat yang nyata, yang dari cahayanya diperoleh eksistensi segala ciptaan.
1. Memahami Ayat dengan Ayat
Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
yang artinya: "Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (QS Yunus [10]: 62)Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
Yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (QS Yunus [10] : 63)
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.
Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah,
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
Artinya: "Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (QS Thaha [20]: 66)
2. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih
2. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih
Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam . Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya,
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
artinya: "...Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan." (An-Nahl [16] : 44)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)
Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (QS [10]Yunus : 26)
Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah.
Beliau bersabda, artinya: "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya. " (HR. Muslim).
Ketika turun ayat,
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ
yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (QS Al-An'am [6] : 82).
Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karena-nya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik; Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat
Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (QS Thaha [20]: 5)
Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).
Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).
4. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab
Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (QS Yusuf [12] : 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).
Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas menging-kari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.
Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).
Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاء إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ
"Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (QS Az-Zukhruf [43]: 84).
Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan ( yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."
Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab
Untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, firman "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in".
Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan ( yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."
Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab
Untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, firman "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in".
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (QS Al-Fatihah [1]: 5).
Didahulukannya kata iyyaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in , ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).
5. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul
Didahulukannya kata iyyaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in , ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).
5. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul
Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar. Sebagai contoh, ayat yang artinya:
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاًأُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ
إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً
"Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkan-nya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengha-rapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (QS Al-Israa' [17]: 56-57).
Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.
Demikian penjelasan Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam Kitab kaifa Nafhamul Qur'an. (Dept. Ilmiyah). Rujukan: Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur'an , terjemahan Masyhuri Ikhwani: Pemahaman Al-Qur'an, Gema Risalah Press Bandung, cetakan pertama, 1997
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.
Demikian penjelasan Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam Kitab kaifa Nafhamul Qur'an. (Dept. Ilmiyah). Rujukan: Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur'an , terjemahan Masyhuri Ikhwani: Pemahaman Al-Qur'an, Gema Risalah Press Bandung, cetakan pertama, 1997
Minggu, 20 Juni 2010
GOLONGAN YANG SELAMAT
Segala puja dan puji hanyalah milik Allah Azza wa Jalla Semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam beserta ahlul baitnya, para shahabatnya, Khulafaur Rasidin, para Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in serta para pengikut setia Beliau SAW hingga akhir zaman.
GOLONGAN YANG SELAMAT
Islam mempunyai konsep yang jelas tentang golongan mana yang selamat dan mana yang terpaksa terkungkung dalam kesesatan.
Allah berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai."(QS Ali Imran [3]: 103)
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
"Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS Ar-Ruum [30]: 31-32)
Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda:
"Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta'at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpe-gang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia se-kuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan itu ada-lah bid'ah, sedang setiap bid'ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka)."
[HR Nasa'i dan at-Tirmi-dzi, ia berkata hadits hasan shahih].
Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-jama'ah." [HR Ahmad dan yang lain. Al-Hafidh menggolongkannya hadits hasan]
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya." [HR at-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami' 5219\
Ibnu Mas'ud meriwayatkan:
"Rasulullah membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, 'Ini jalan Allah yang lurus.' Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, 'Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya'.
Selanjutnya beliau membaca firman Allah ,
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (QS Al-An'am [6]: 153), (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa'i)
Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya, al-Ghunyah, berkata, "... adapun golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan Ahlus Sunnah, tidak ada nama lain bagi mereka kecuali satu nama, yaitu Ashhabul Hadits (para ahli hadits)."
Allah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada Al-Qur'anul Karim. Tidak termasuk orang-orang musyrik yang memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan dan kelompok.
Rasulullah mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah berpecah belah menjadi banyak golongan, sedang umat Islam akan berpecah lebih banyak lagi, golongan-golongan tersebut akan masuk Neraka karena mereka menyimpang dan jauh dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Hanya satu Golongan Yang Selamat dan mereka akan masuk Surga. Yaitu al-jamaah , yang berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah yang shahih, di samping melakukan amalan para sahabat dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam.
- Golongan yang selamat adalah yang Allah selamatkan atasnya dengan anugerah dan karunianya.
- Golongan Yang Selamat ialah golongan yang setia mengikuti manhaj Rasulullah dalam hidupnya, serta manhaj para sahabat sesudahnya. Yaitu Al-Qur'anul Karim yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yang beliau jelaskan kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits shahih. Beliau memerintahkan umat Islam agar berpegang teguh kepada keduanya."Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan ter-sesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kita-bullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai-berai sehingga kedua-nya menghantarku ke telaga (Surga)." (Di-shahih-kan al-Albani dalam kitab Shahihul Jami')
- Golongan Yang Selamat akan kembali (merujuk) kepada Kalamullah dan Rasul-Nya tatkala terjadi perselisihan dan pertentangan di antara mereka, sebagai realisasi dari firman Allah SWT:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaa allaahi waalrrasuuli in kuntum tu'minuuna biallaahi waalyawmi al-aakhiri dzaalika khayrun wa-ahsanu ta'wiilaan
"Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya."(QS An-Nisaa' [4]: 59)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
"falaa warabbika laa yu/minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara baynahum tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadhayta wayusallimuu tasliimaan"
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An-Nisaa' [4]: 65)
- Golongan Yang Selamat tidak mendahulukan perkataan seseorang atas Kalamullah dan Rasul-Nya, realisasi dari firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa tuqaddimuu bayna yadayi allaahi warasuulihi waittaquu allaaha inna allaaha samii'un 'aliimun"
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguh-nya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Hujurat [49]: 1)
Ibnu Abbas berkata:
"Aku mengira mereka akan binasa. Aku mengatakan, 'Nabi SAW bersabda, sedang mereka mengatakan, 'Abu Bakar dan Umar berkata'." [HR Ahmad dan Ibnu 'Abdil Barr]
- Golongan yang Selamat; Senantiasa Menjaga Kemurnian Tauhid Mengesakan Allah dengan beribadah, berdo'a dan memohon pertolongan baik dalam masa sulit maupun lapang, menyembelih kurban, bernadzar, tawakkal, berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan berbagai bentuk ibadah lain yang semuanya menjadi dasar bagi tegaknya Daulah Islamiyah yang benar. Menjauhi dan membasmi berbagai bentuk syirik dengan segala simbol-simbolnya yang banyak ditemui di negara-negara Islam, sebab hal itu merupakan konsekuensi tauhid. Dan sungguh, suatu golongan tidak mungkin mencapai kemenangan jika ia meremehkan masalah tauhid, tidak membendung dan memerangi syirik dengan segala bentuknya. Hal-hal di atas merupakan teladan dari para Rasul dan Rasul kita Muhammad saw.
- Golongan yang Selamat; Senang Menghidupkan Sunnah Rasulullah, Baik dalam Ibadah, Perilaku maupun Segenap Hidupnya. Karena itu mereka menjadi orang-orang asing di tengah kaum-nya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi, "Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing." (HR Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, "Dan keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak." [Al-Albani berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Dani dengan sanad shahih"]
- Golongan yang Selamat; Tidak Berpegang, kecuali kepada Kalamullah dan Kalam Rasul-Nya yang Maksum, yang Berbicara dengan Tidak Mengikuti Hawa Nafsu Adapun manusia selainnya, betapapun tinggi derajatnya, terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana sabda Nabi saw, "Setiap bani Adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat." (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad) Imam Malik berkata, "Tak seorang pun sesudah Nabi melainkan ucapannya diambil atau ditinggalkan (ditolak) kecuali Nabi (yang ucapannya selalu diambil dan diterima)."
- Golongan yang Selamat adalah Para Ahli Hadits' Tentang mereka Rasulullah bersabda, "Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah." (HR Muslim). Seorang penyair berkata, "Ahli hadits itu, mereka ahli (keluarga) Nabi, sekalipun mereka tidak bergaul dengan Nabi, tetapi jiwa mereka bergaul dengannya.
- Golongan yang Selamat Menghormati Para Imam Mujtahidin, Tidak Fanatik terhadap Salah Seorang di Antara Mereka Golongan yang selamat mengambil fiqih (pemahaman hukum-hukum Islam) dari Al-Qur'an, hadits-hadits yang shahih, dan pendapat-pendapat imam mujtahidin yang sejalan dengan hadits shahih. Hal ini sesuai dengan wasiat mereka, yang menganjurkan agar para pengikutnya mengambil hadits shahih, dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengannya.
- Golongan yang Selamat Menyeru kepada yang Ma'ruf dan Mencegah dari yang Mungkar Mereka melarang segala jalan bid'ah dan sekte-sekte yang menghancurkan serta memecah belah umat. Baik bid'ah dalam hal agama maupun dalam hal sunnah Rasul dan para sahabatnya. Mereka menyeru kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran. Golongan yang selamat mengajak seluruh umat Islam agar berpegang teguh kepada sunnah Rasul dan para sahabatnya. Sehingga mereka mendapatkan pertolongan dan masuk Surga atas anugerah Allah dan syafa'at Rasulullah saw dengan izin Allah.
- Golongan yang Selamat; Mengingkari Peraturan Perundang-undangan yang Dibuat oleh Manusia apabila Undang-Undang tersebut Bertentangan dengan Ajaran Islam.
- Golongan yang selamat; mengajak manusia berhukum kepada Kitabullah yang diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Allah Maha Mengetahui sesuatu yang lebih baik bagi mereka. Hukum-hukum-Nya abadi sepanjang masa, cocok dan relevan bagi penghuni bumi sepanjang zaman. Sungguh, sebab kesengsaraan dunia, kemerosotan, dan mundurnya khususnya dunia Islam, adalah karena mereka meninggalkan hukum-hukum Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Umat Islam tidak akan jaya dan mulia kecuali dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam, baik secara pribadi, kelompok maupun secara pemerintahan. Kembali kepada hukum-hukum Kitabullah, sebagai realisasi dari firman-Nya:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
inna allaaha laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi-anfusihim
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS Ar-Ra'ad [13]: 11)
- Golongan yang Selamat; Mengajak Seluruh Umat Islam Berjihad di Jalan Allah. Jihad adalah wajib bagi setiap Muslim sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya.
1. Lisan dan tulisan
Mengajak umat Islam dan umat lainnya agar berpegang teguh dengan ajaran Islam yang shahih, tauhid yang murni dan bersih dari syirik yang ternyata banyak terdapat di negara-negara Islam. Rasulullah telah memberitakan tentang hal yang akan menimpa umat Islam ini. Beliau bersabda,
"Hari Kiamat belum akan tiba, sehingga kelompok-kelompok dari umatku mengikuti orang-orang musyrik dan sehingga kelompok-kelompok dari umatku menyembah berhala-berhala." [Hadits shahih, riwayat Abu Daud, hadits yang semakna ada dalam riwayat Muslim]
2. Harta
Menginfakkan harta buat penyebaran dan peluasan ajaran Islam, mencetak buku-buku dakwah ke jalan yang benar, memberikan santunan kepada umat Islam yang masih lemah iman agar tetap memeluk agama Islam, memproduksi dan membeli senjata-senjata dan peralatan perang, memberikan bekal kepada para mujahidin, baik berupa makanan, pakaian atau keperluan lain yang dibutuhkan.
3. Jiwa raga
Bertempur dan ikut berpartisipasi di medan peperangan untuk kemenangan Islam. Agar kalimat Allah "Laa ilaaha illallah" tetap jaya sedang kalimat orang-orang kafir (syirik) menjadi hina. Dalam hubungannya dengan ketiga perincian jihad di atas, Rasulullah saw mengisyaratkan dalam sabdanya, "Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisanmu." [HR Abu Daud, hadits shahih].
Adapun hukum jihad di jalan Allah adalah:
Fardhu 'Ain':
Berupa perlawanan terhadap musuh-musuh yang melakukan agresi ke beberapa negara Islam wajib dihalau. Agresor-Agresor Yahudi misalnya, yang merampas tanah umat Islam di Palestina. Umat Islam yang memiliki kemampuan dan kekuatan jika berpangku tangan ikut berdosa, sampai orang-orang Yahudi terkutuk itu enyah dari wilayah Palestina. Mereka harus berupaya mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan umat Islam dengan kemampuan yang ada, baik dengan harta maupun jiwa.
Fardhu kifayah
Jika sebagian umat Islam telah ada yang melakukannya maka sebagian yang lain kewajibannya menjadi gugur. Seperti misalnya jika telah ada dan banyak pasukan-pasukan kaum Muslimin yang berjihad di negeri-negeri seperti Palestina dll dan mampu mengadakan perlawanan dan balasan. Juga seperti dakwah mengembangkan misi Islam ke negara-negara lain, sehingga berlaku hukum-hukum Islam di segenap penjuru dunia. Barangsiapa menghalangi jalan dakwah ini, ia harus diperangi, sehingga dakwah Islam dapat berjalan lancar.
Golongan yang selamat jumlahnya sangat sedikit di tengah banyaknya umat manusia.
Tentang keadaan mereka, Rasulullah bersabda, "Keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang shalih di lingkungan orang banyak yang berperangai buruk, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada orang yang menta'atinya." [HR Ahmad, hadits shahih]
Dalam Al-Qur'anul Karim, Allah memuji mereka dengan firman-Nya;
"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur." (QS. Saba': 13)
Untuk memahami arti sedikit dari keterangan di atas tentunya harus merujuk pada kebenaran yang datang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tidak benar jika kelompok sempalan yang ajarannya menyesatkan dan jumlahnya sedikit menganggap diri benar atas dalil diatas. Begitu pula orang-orang yang memiliki keyakinan dan aqidah yang menyimpang lainnya, dengan dalih jumlahnya sedikit, maka mereka merasa benar.
Jumlah sedikit ini harus difahami sebagai isyarat bahwa agama Islam yang pada mulanya datang dalam keadaan asing, akan berakhir dengan keadaan asing pula. Maksudnya pada awal munculnya agama Islam, kebanyakan ummat manusia hidup dalam keadaan jahiliyah, hidup dengan adat, kepercayaan, budaya yang bertentangan dengan Islam.
Kemudian orang-orang yang benar-benar memegang prinsip-prinsip atau nilai-nilai Islam akhirnya akan dianggap asing, dianggap kuno dan terbelakang, dianggap aneh dan lain-lain. Orang yang bertujuan menegakkan syariat yang Allah turunkan dianggap Islam Garis Keras, bahkan sebagai Teroris.
Umumnya ummat sekarang ini berkiblat pada budaya Barat. Karena kemajuan teknologi dan kemajuan ekonomi, maka kebanyakan orang tergila-gila dan nge-fans berat kepada budaya Barat.
Karena berkiblat pada budaya Barat, maka kebebasan tak terbendung. Liberalisme merajalela, kemaksiatan menjalar kemana-mana, pornografi, pornoaksi, perjudian, narkoba, seks bebas, gaya kehidupan bebas yang tidak terikat dengan hukum syariat dan seterusnya. Begitulah kebanyakan ummat dewasa ini tanpa sadar lebih berkiblat pada budaya jahiliyah.
Oleh karenanya orang-orang yang benar-benar memiliki iman, orang-orang yang masih mencintai Allah dan Rasulnya, orang-orang yang masih mencintai syari'at yang Allah turunkan itu benar-benar sangat sedikit dibandingkan dengan orang-orang yang ingkar dan orang-orang yang pro kehidupan ala jahiliyah.
Karena jumlahnya sedikit dan kekuatan ekonomi dan kekuatan lainnya kalah dibandingkan dengan kelompok-kelompok atau negar-negara maju yang jahiliyah, maka hidupnya tertindas oleh kaum jahiliyah. Dengan demikian, orang yang mendurhakai-Nya lebih banyak dari pada yang mentaati-Nya. Itulah arti dari golongn ummat yang dianggap asing.
Golongan Yang Selamat banyak dimusuhi oleh manusia, difitnah dan dilecehkan dengan gelar dan sebutan yang buruk. Nasib mereka seperti nasib para nabi yang dijelaskan dalam firman Allah,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً وَلَوْ
wakadzaalika ja'alnaa likulli nabiyyin 'aduwwan syayaathiina al-insi waaljinni yuuhii ba'dhuhum ilaa ba'dhin zukhrufa alqawli ghuruuran walaw
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)." (QS Al-An'am: 112)
Rasulullah misalnya, ketika mengajak kepada tauhid, oleh kaumnya beliau dijuluki sebagai "tukang sihir lagi sombong." Padahal sebelumnya mereka memberi beliau julukan "ash-shadiqul amin", yang jujur dan dapat dipercaya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang "Golongan Yang Selamat", beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang salaf dan setiap orang yang mengikuti jalan para salafush shalih (Rasulullah, para sahabat dan setiap orang yang mengikuti jalan petunjuk mereka)."
Hal-hal di atas adalah sebagian dari manhaj dan tanda-tanda Golongan Yang Selamat.
Semoga kita termasuk mereka yang berakidah
Firqah Najiyah (Golongan Yang Selamat) ini,
Amin.
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk dalam golongan yang selamat (Firqah Najiyah). Dan semoga segenap umat Islam termasuk di dalamnya."
Sumber: Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Al-Islam
Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Selasa, 18 Mei 2010
JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL MUHDITS
Allah SWT telah mengingatkan kita dalam Firman-Nya:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al Isra' [17]:36)
Sedangkan di sisi lain, sebagai umat Muslim kita semua tahu bahwa salahsatu pesan Rasulullah SAW menyangkut ilmu adalah agar kita tidak berhenti belajar, sampai saatnya tiba ke liang lahat! Namun untuk itu kiranya ada beberapa catatan yang sangat perlu diperhatikan agar Insya Allah, kita akan mendapatkan manfaat dari mempelajari ilmu.
Jangan belajar agama dari Al Muhdits
Apa arti al Muhdits?
Imam An-Nawawi berkata;
وَأَمَّا الْمُحْدِث – بِكَسْرِ الدَّال – فَهُوَ مَنْ يَأْتِي بِفَسَادٍ فِي الْأَرْض
“Adapun al-Muhdits-dengan dal yang dikasrahkan-adalah orang yang membawa kerusakan di muka bumi.“ [Syarh Shahih Muslim juz 6 hal. 475 Maktabah Syamilah]
Lalu, siapa sajakah al Muhdits itu?
Jangan Mengambil Ilmu Agama Dari Ahli Bid'ah
Orang yang berniat mencari ilmu yang Haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid'ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari, sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.
Syaikh Utsaimin berkata bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan yang harus ditempuh:
Pertama: Ilmu tersebut diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid'ah dan khurafat. Cara ini membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat.
Kedua: Ilmu tersebut diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat untuk meraih ilmu. Akan tetapi sangat disayangkan, pada zaman ini banyak para penuntut ilmu mengambil atau mempelajari bahkan mendatangkan-mengundang da'i dari kalangan ahli bid'ah. Atau mereka mempelajari agama dari para orientalis barat beraliran liberal yang berasal dari universitas terkenal di Amerika atau negara sekuler barat pada umumnya. Padahal perbuat itu sangat ditentang oleh ulama salaf.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu Anhu berkata:
"Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama."
Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu Anhu berkata:
"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para shahabat Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam ". dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang ahli bid'ah dan hawa nafsu, mereka pasti binasa."
Imam Malik, berkata:
"Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang; (1) Orang bodoh yang telah nyata kebodohannya; (2) Shahibu Hawa' (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraannya dengan manusia, walaupun ia tidak pernah berdusta atas nama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan."
Imam Nawawi berkata, menjelaskan Ghibah yang diperbolehkan:
"Jika pencari ilmu atau penuntut ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid'ah atau orang fasiq, sedangkan kita khawatir hal itu akan membahayakan si pencari ilmu tersebut, maka kita wajib menasehatinya dengan menjelaskan keadaan gurunya, dengan syarat dia berniat menasihati."
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili hafizhahullah berkata:
"Maksud peringatan ulama-ulama diatas adalah: Menjaga orang-orang (para penuntut ilmu) dari rusaknya aqidah. Meng-hajr (memboikot-mengisolir) ahli bid'ah yang menyerukan ajaran bid'ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid'ah."
Semoga Allah SWT selalu membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.
Dari Majalah As-Sunnah 03 thn X/1427H / Jul.'06