(Sebenarnya aku adalah rahmat yang dipersembahkan)
ANAK YATIM.
Manakala teman-teman sepermainan, bagaikan burung di taman, berbangga hati, bersuka-cita serta bergembira ria di hadapan ayah mereka masing-masing, MUHAMMAD hanya menengadah pandang ke langit. Tidak pernah satu kali pun dia berseru: “Wahai ayah!”. Karena dia memang tak punya ayah. Akan tetapi selalu dan banyak sekali dia berucap lirih: “Wahai Tuhan pemeliharaku!”
Rahasia apa yang terpendam dalam keyatiman itu sehingga Allah memilih dua orang manusia yatim, Al-Masih dan MUHAMMAD, sebagai penyandang kalimat-Nya, pembawa risalah-Nya?
Ya, ISA Al-Masih juga terlahir yatim! Ketika lahir, dia tak melihat ayah! Bahkan, dikatakan dia sama sekali tak berayah. Di kala rekan-rekan sepermainannya berpongah menyebut ayah mereka, beliau membanggakan suatu yang lebih baik dari ayah. Sambil mengacungkan isyarat dengan telapak tangannya yang bercahaya ke atas, beliau berucap: “Bapakku ada di langit!”
Apakah gerangan rahasia itu? Apakah Allah memang telah menetapkan keyatiman bagi kedua mereka, untuk memecahkan rahmat dari jiwa mereka dengan kokoh dan kuat? Mungkin! Tapi marilah kita kembali pada pokok pembicaraan. Marilah kita mengikuti MUHAMMAD menghayati rahmatnya. Kiranya rahmat beliau itu suatu rahmat yang mengagumkan para pemikir. Rahmat MUHAMMAD bukanlah ‘reaksi’ dari keyatimannya. Akan tetapi merupakan ‘aksi’ yang sesuai dengan eksistensinya sejak lahir, yang telah di sambut dengan keyatiman. Rahmatnya orang-orang kuat yang penuh inisiatif, bukan rahmat orang-orang lemah yang putus asa.
Di seluruh jagat ini, siapakah yang lebih kuat dari seorang yatim yang sendirian menghadapi tantangan alam, dan sendirian pula bangkit memikul beban tanggungjawabnya? Sementara pengasuhnya, satu demi satu meninggalkannya, untuk memberikannya peluang tampil sebagai “seorang lelaki”, guna mengisi semua kekosongan yang ada agar tumbuh dengan sendirinya seperti pohon yang tinggi, agar beliau ditopang dan didukung oleh kebapakan dari diri pribadinya sendiri?Memang tepat, keyatiman bisa merupakan sumber utama dari keagungan, kalau yang menerima keyatiman itu seorang anak yang berkesiapan besar. Dan hal itu sudah terjadi pada diri MUHAMMAD! Memahami betapa pedihnya hidup sebagai anak yatim, Allah Swt. mencela orang-orang yang tidak perduli dan mengabaikan anak-anak yatim sebagai orang-orang yang termasuk sebagai para “pendusta agama”.
karena sesungguhnya anak-anak yatim perlu mendapatkan kasih sayang dan keperdulian.
Menurut ayat ini, ada dua hal yang menyebabkan seseorang tergolong pendusta agama yaitu: “orang-orang yang menghardik anak yatim”, serta orang-orang yang “tidak mau menganjurkan memberi makan orang yang miskin.”
Mengapa dikatakan sebagai pendusta agama? Karena anak yatim memiliki status yang sangat mendasar dalam Islam, yang berhubungan sangat erat dengan keperibadian Rasulullah saw sendiri.
MUHAMMAD dilahirkan dalam keadaan yatim, dan ketika ibundanya meninggal, beliau juga masih dalam keadaan yatim sehingga lengkaplah statusnya sebagai seorang anak yang yatim- piatu. Saat beliau dalam keadaan yatim tidak seorang pun yang perduli terhadap beliau kecuali keluarganya sendiri. Perlakuan semena-mena terhadap anak yatim dan tida adanya kepedulian kepada fakir miskin merupakan sebab utama manusia tergolong sebagai pendusta agama.
MUHAMMAD Saw. Diutus menjadi rasul, yang salah satu syariatnya mewajibkan kepedulian terhadap anak yatim. Menjalin rumah tangga yang harmonis tidak lepas dari keperdulian terhadap anak yatim dan fakir miskin, dalam arti adanya kemauan untuk mengurus mereka dan berlaku baik terhadap mereka. Karena beliau percaya bahwa dari sikap kepedulian ini akan memunculkan nilai-nilai positip bagi keluarga yang perduli terhadap mereka berupa keharmonisan, ketenangan, dan keberkahan dalam keluarga.Tentang hal ini, beliau bersabda:
“Sebaik-baik rumah kaum muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk”.
(HR. Ibnu Majah)
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa di surga kelak, rumah yang di gunakan mengasuh anak yatim dengan baik disebut “Rumah Kesenangan” karena mereka memberikan kesenangan kepada anak yatim sewaktu di dunia.
Sabdanya:
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat rumah yang disebut ‘Rumah Kesenangan’. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang yang menyenangkan anak-anak yatim-mukmin”.
Beliau menjelaskan bahwa Allah Swt memberikan ganjaran yang paling berharga berupa ‘Rumah Kesenangan’ di surga. Ini merupakan puncak keberkahan bagi mereka yang peduli terhadap nasib anak yatim yang mendambakan kasih sayang orang tua sebagaimana teman-temannya yang memiliki orang tua yang menyayangi mereka.
Begitu besarnya kepedulian MUHAMMAD terhadap anak yatim sehingga agar umatnya tidak termasuk sebagai “pendusta agama", beliau telah menitipkan masa depan para yatim itu di pundak kita semua. Bahkan beliau dengan syafaatnya, mengundang kepada siapa saja diantara umatnya yang ingin berdekatan (bertetangga) dengan dirinya di surga adn kelak, salah satu syaratnya adalah dengan menyantuni anak-anak yatim dengan sebaik-baiknya.
Beliau mengisyaratkan kedekatan beliau dengan para pengasuh anak yatim di surga kelak, adalah bagaikan kedekatan antara jari telunjuk dengan jari tengah atau antara jari telunjuk dengan ibu jari.
Sabdanya: “Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini - Rasulullah Saw. menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan merapatkan keduanya. (HR. Bukhari)
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ada seorang Wanita yang telah ditinggal wafat suaminya dan tidak mau kawin lagi. Dia seorang yang berkedudukan terhormat dan cantik namun dia mengurung dirinya untuk menekuni asuhan anak-anaknya yang yatim sampai mereka kawin (berkeluarga dan berumah tangga) atau mereka wafat. Dan tentang ketinggian derajat wanita ini, maka Rasulullah saw bersabda:
”Aku dan seorang wanita yang pipinya kempot dan wajahnya pucat bersama-sama pada hari kiamat seperti ini (Nabi Saw menunjuk jari telunjuk dan jari tengah). (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hadist yang dituturkan dari Abu Hurairah r.a.,Beliau bersabda:
“Demi Dzat yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menyiksa orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya, dan tidak bersikap angkuh dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya terhadap tetangganya.”
Sabdanya pula:
“Barangsiapa memelihara anak yatim di tengah kaum Muslim dengan memberi makan dan minum, maka Allah akan memasukkannya ke surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak diampuni Allah” [dosa musyrik] (HR ath-Tirmidzi)
MUHAMMAD juga mengisyaratkan bahwa sebaik-baik sedekah adalah yang dibelanjakan kepada keluarga terdekat karena bernilai dua pahala, yaitu pahala sedekah dan juga pahala infak. Beliau mencela orang yang (demi gengsi) bersedekah untuk amal (charity) padahal kerabat dan kelurganya sendiri terabaikan.
Sabdanya:
“Demi yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menerima sedekah seorang yang mempunyai kerabat keluarga yang membutuhkan santunannya sedang sedekah itu diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, ketahuilah, Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya) kelak pada hari kiamat." (HR. Ath-Thabrani)
Perhatikanlah betapa rahmat kasih sayang begitu memenuhi relung bathinnya yang terdalam terhadap para hamba Allah yang seringkali terabaikan bahkan termarjinalkan di dalam kehidupan sosial umat manusia. Oleh karenanya, maka MUHAMMAD dengan penuh keyakinan terhadap rahmat, MUHAMMAD yang kuat itu menampilkan rahmat. Semerbak wanginya dan kiranya pula beliau diciptakan dengan adonan rahmat yang berlimpah. Dan beliau Saw - untuk beliau shalawat Allah dan salam-Nya - terpekik riang gembira karena rahmat, memperlakukan rahmat itu dengan penuh bijaksana dan secara cerdas.Bila kita meneliti hadits-hadits beliau tentang rahmat, kita dapat menemukan sesuatu yang menyerupai hitungan matematis. Beliau tidak mempraktekkan rahmat itu sebagai sekedar basa-basi yang membangkitkan emosi atau pelepas duka. Beliau bicara tentang rahmat dalam kapasitas seorang ahli yang mengerti nilainya, menyelusuri hajat orang yang haus pada rahmat itu. Seolah-olah beliaulah pemilik rahmat dan beliau pula yang menetapkan tata-cara serta perundang-undangannya.
Sesungguhnya orang yang tidak punya apa-apa tidak akan dapat memberikan apa-apa. Dan orang yang tidak mampu mengasihi diri sendiri, tidak akan mampu pula mengasihani orang lain.
Dari sinilah pembicaraan tentang rahmat dimulai, dan dari sini pula anjuran membudayakan rahmat digalakkan. Dengan kebijakan seorang jujur yang memancarkan cahaya terang dari diri pribadi, MUHAMMAD telah menata rahmat jiwa dan diri pribadi secara jelas. Beliau telah memilih dan menempatkan rahmat pada sudut-sudut yang tepat. Sebelumnya tak ada yang menduga, beliaulah yang telah menata dan merangkaikan rahmat itu. Sebagai seorang rasul, seorang pengabdi, MUHAMMAD datang menegakkan panji peribadatan dan mengarahkan orang agar melakukan ibadat. Lantas apakah beliau hanya menekankan ibadat semata, dan dengan demikian menimbulkan kesejangan atau mengambil jarak dengan rahmat? Manusia agung itu telah menyadari persoalan ini. Maka, karena itu malah beliau menyatakan bahwa rahmat lebih utama dari pada ibadat yang berlebihan. Bahkan lebih membersihkan.Suatu hari di bulan Ramadhan pada tahun Al-Fatah, Rasulullah pergi menuju kota Mekkah. Sampailah beliau beserta rombongannya di suatu desa Kurra’il Ghamim. Kemudian beliau berpuasa dan berpuasa jugalah semua sahabatnya. Melihat sebagian sahabatnya sangat kepayahan karena berpuasa dalam perjalanan yang melelahkan itu, beliau meminta segelas air. Diangkatnya gelas itu tinggi-tinggi agar kelihatan oleh para sahabatnya. Lantas, beliau pun minumlah. Ketika disampaikan pada beliau, masih ada yang bertahan berpuasa, maka beliau berucap: “Mereka tergolong para pembangkang!”
Jabir mengisahkan juga kepada kami: Sekali waktu Nabi saw sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba beliau melihat para sahabatnya sedang mengerumuni seseorang. Lalu bertanyalah Nabi: “Apa yang terjadi?” Para sahabatnya menjawab: “Ada seorang sedang berpuasa.” Maka beliau pun bersabda:
“Bukan suatu kebajikan kalau orang berpuasa dalam perjalanan. Gunakanlah kemurahan Allah yang telah memberikan kemudahan (Ruksyah) bagi kalian, maka terimalah!”.
Semoga shalawat dan salam selalu di limpahkan-Nya bagi junjungan kita Rasulullah SAW beserta ahlul baitnya, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in serta seluruh umat Islam yang taat pada risalahnya hingga di akhir zaman.”
Amiin.
CATATAN
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar