Sekali-kali tidak akan begitu! Allah adalah Tuhannya orang banyak, syariatNya pun untuk semua orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undangnya, berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Misalnya mencuri, hukumnya adalah haram, baik si pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam; baik yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri betapapun keturunan dan kedudukannya. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah dan yang dikumandangkannya.Kata Rasulullah dalam pengumumannya itu:
"Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya." (Riwayat Bukhari)
Di zaman Nabi sudah pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang Islam, tetapi ada suatu syubhat sekitar masalah seorang Yahudi dan seorang Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang Islam melepaskan tuduhan kepada seorang Yahudi dengan beberapa data yang dibuatnya dan berusaha untuk mengelakkan tuduhan terhadap rekannya yang beragama Islam itu, padahal dialah pencurinya, sehingga dia bermaksud untuk mengadukan hat tersebut kepada Nabi dengan suatu keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan hukuman. Waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan membebaskan orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Rasulullah SAW mencela orang Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.Wahyu Allah berbunyi sebagai berikut:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً وَاسْتَغْفِرِ اللّهَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً وَلاَ تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنفُسَهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّاناً أَثِيماًيَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاًهَاأَنتُمْ هَـؤُلاء جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَن يُجَادِلُ اللّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَم مَّن يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلاً
Pernah juga terjadi suatu anggapan dalam agama Yahudi, bahwa riba itu hanya haram untuk seorang Yahudi jika berhutang kepada orang Yahudi yang lain. Tetapi berhutang kepada lain Yahudi tidaklah terlarang.
Demikianlah seperti yang tersebut dalam Ulangan 23: 19-20:
"Maka tak boleh kamu mengambil bunga daripada saudaramu, baik bunga uang, baik bunga makanan, baik bunga barang sesuatu yang dapat makan bunga. Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil bunga."
Sifat mereka yang seperti ini diceritakan juga oleh al-Quran, di mana mereka membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu dipandangnya tidak salah dan tidak berdosa.
Al-Quran mengatakan:
وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِن تَأْمَنْهُ بِقِنطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُم مَّنْ إِن تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لاَّ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلاَّ مَا دُمْتَ
عَلَيْهِ قَآئِماً ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan yang cukup kita sesalkan ialah, bahwa perasaan Israiliyah inilah yang merupakan kejahatan biadab, yang kiranya tidak patut untuk dinisbatkan kepada agama Samawi (agama Allah). Sebab budi yang luhur bahkan budi yang sebenarnya mestinya harus mempunyai ciri yang menyeluruh dan universal, sehingga tidak terjadi anggapan halal untuk ini tetapi haram untuk itu.
Perbedaan
prinsip antara kita dan golongan badaiyah (primitif) hanyalah dalam hal
luasnya daerah budi/akhlak. Bukan ada atau tidak adanya budi itu. Sebab
soal amanat misalnya, menurut anggapan mereka dipandang sebagai suatu
sikap yang baik dan terpuji, tetapi hanya khusus antar putera sesuatu
kabilah. Kalau sudah keluar dari kabilah itu atau lingkungan keluarga,
boleh saja berbuat khianat; bahkan kadang-kadang dipandang siasat baik
atau sampai kepada wajib.
Pengarang
Qishshatul Hadharah menceriterakan, bahwa semua golongan manusia hampir
ada persesuaian dalam kepercayaan yang menunjukkan mereka lebih baik
daripada yang lain. Misalnya bangsa Indian di Amerika, mereka menganggap
dirinya sebagai hamba Tuhan yang terbaik. Tuhan menciptakan mareka ini
sebagai manusia yang berjiwa besar khusus untuk dijadikan sebagai
tauladan di mana manusia-manusia lainnya harus menaruh hormat kepadanya.
Salah
satu suku Indian itu ada yang menganggap dirinya sebagai Manusia yang
tidak ada taranya. Dan suku yang lain beranggapan, bahwa dirinya itu
manusia diantara sekian banyak manusia. Suku Carbion mengatakan pula
hanya kamilah yang disebut manusia sesungguhnya dan seterusnya.
Kesimpulannya,
bahwa manusia primitif didalam mengatur cara pergaulannya dengan
golongan lain tidak menggunakan jiwa etika yang lazim seperti yang biasa
dipakai dalam berhubungan dengan kawan sesukunya.
Ini
merupakan bukti nyata, bahwa etika (akhlak) merupakan fungsi yang
paling ampuh guna memperkukuh jamaah dan memperteguh kekuatannya untuk
menghadapi golongan lain. Oleh karena itu persoalan etika dan larangan
tidak akan dapat berlaku (sesuai) melainkan untuk penduduk golongan itu
sendiri. Untuk golongan lain, tidak lebih daripada tamu. Justeru itu
boleh saja mereka mengikuti tradisi golongan tersebut sekedarnya saja.
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 | Digitalisasi: Media Isnet | Index
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar