MENIRU JALAN SYARIAT
Apakah niat yang baik itu dapat menjustifikasikan tindakan mereka? Tentu saja tidak. Niat seperti itu tidak dapat memberikan justifikasi suatu perbuatan bid'ah. Kami telah katakan sebelumnya bahwa dalam masalah beribadah, kita harus melengkapi dua hal: niat (hanya semata untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala) dan mutaba'ah yaitu 'beribadah dengan mengikuti cara yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.'. Ukuran dan karakteristik ibadah yang benar amat jelas, yaitu harus mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., "Siapa yang mengerjakan suatu amal ibadah yang tidak diatur oleh sunnah kami maka amalnya itu tertolak." Ini adalah bid'ah dalam agama. Bid'ah dengan pengertian seperti ini adalah dhalaalah 'sesat', seperti disinyalir oleh hadits riwayat Irbaadh bin Saariah, "Karena setiap bid'ah adalah sesat."
Ulama yang lain menggugat penamaan perbuatan tadi sebagai bagian dari bid'ah. Menurut mereka, pengklasifikasian bid'ah semacam itu adalah pengklasifikasian bid'ah berdasarkan pengertian lughawi 'etimologis', sedangkan pengertian kata bid'ah yang kami gunakan adalah pengertian secara terminologis syar'i. Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan Al-Qur'an dan pengkompilasiannya) tidak kami masukkan dalam kategori bid'ah. Adalah suatu inisiatif yang tidak tetap memasukkan hal-hal semacam tadi dalam kelompok bid'ah.
Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid'ah yang dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits syarif diungkapkan redaksi yang demikian jelas ini, "Karena setiap bid'ah adalah sesat," dengan pengertian yang general (umum). Jika dalam hadits itu diungkapkan, "Karena setiap bid'ah adalah sesat," maka tidak tepat kiranya jika kita kemudian berkata bahwa di antara bid'ah ada yang baik dan ada yang buruk, atau ada bid'ah wajib dan ada bid'ah yang dianjurkan, dan sebagainya. Kita tidak patut melakukan pembagian bid'ah seperti ini. Yang tepat adalah jika kita mengatakan seperti yang diungkapkan oleh hadits, "Karena setiap bid'ah adalah sesat." Dan, kata bid'ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid'ah dengan definisi yang diucapkan oleh Imam asy-Syathibi, "Bid'ah adalah suatu cara beragama yang dibuat-buat," yang tidak mempunyai dasar dan landasan, baik dari Al-Qur'an, sunnah Nabi Shallallahu alaihi wassalam., ijma', qiyas, maupun maslahat mursalah, dan tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai oleh para fuqaha.
[28]Syekh Islam Ibnu Taimiyah telah menulis redaksinya yang amat bagus, yang meng-counter orang yang menganggap baik perbuatan bid'ah, seperti yang beliau tulis dalam kitabnya "Iqtidha shiiraathal-Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabu al-Jahim", (Beirut: Darul Ma'rifah), him. 270 dan seterusnya. Silakan dibaca kitab itu.
[29] Pendapat mereka ini telah dibahas dan didiskusikan oleh Imam asy-Syathibi secara mendetail. Pada akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pembagian bid'ah seperti ini adalah suatu perbuatan mengada-ada yang sama sekali tidak didukung oleh syariat. Bahkan, ia bersifat kontradiktif dalam dirinya sendiri. Karena, hakikat suatu bid'ah adalah sesuatu yang sama sekali tidak mempunyai dalil, baik dari nash syariat maupun dari kaidah-kaidahnya. Seandainya di dalam syariat ada sesuatu dalil yang menunjukkan kewajiban, sunnah, atau bolehnya sesuatu (perbuatan bid'ah) itu, niscaya tidak ada bid'ah dan niscaya perbuatan itu masuk dalam kelompok perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan atau diberi kesempatan untuk dikerjakan. Lihat al-I'tishaam, (Beirut: Darul Ma'rifah), 1/188-211.
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar