Topik kita kali ini adalah berkenaan dengan tanda-tanda datangnya Hari Kiamat berdasarkan nubuat baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam yang terkandung di dalam beberapa hadits beliau.
Semoga bermanfaat!
Dari Abu Hurairah ra. berkata: "Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berbicara di depan suatu kaum, seorang Badui datang kepadanya dan berkata: 'Kapankah datangnya hari kiamat?' Rasulullah meneruskan pembicaraannya. Maka sebagian orang berkata: 'Rasulullah telah mendengar apa yang dikatakan orang Badui itu tetapi beliau tidak menyukai pertanyannya.' Sebagian lain berkata: 'Rasulullah tidak mendengarnya'. Ketika selesai bicara, beliau berkata: 'Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?' Orang itu berkata: 'Inilah aku, wahai Rasulullah'. Rasulullah SAW bersabda: 'Apabila amanat telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat'. Dia berkata: 'Bagaimanakah menyia-nyiakannya?' Rasulullah bersabda: 'Apabila suatu urusan dipercayakan kepada orang yang tidak berhak, maka tunggulah datangnya kiamat'. (Bukhari, 59, 6496).
Kata "wussida" di sini berarti: "disandarkan" atau "dipercayakan". Dalam riwayat hadits nomor 6496 dikatakan: "iza wuusidal amru" (apabila urusan itu disandarkan). Yang dimaksud dengan "urusan" di sini adalah jenis urusan: yaitu menyandarkan urusan kepada orang yang tidak berkompeten, seperti para imam (kepala negara) menyerahkan urusan agama berupa urusan pemerintahan, pengadilan, fatwa dan sejenisnya kepada orang yang bukan ahli agama..Karena para imam adalah orang-orang yang diberi amanat oleh Allah atas hamba-hamba-Nya dan diberi kewajiban untuk memberi nasihat kepada mereka, maka mereka hendaknya memberi kekuasaan kepada ahli agama. Apabila mereka embankan kepada orang yang bukan ahli agama, berarti mereka telah menyia-nyiakan amanat yang telah dipikulkan Allah kepada mereka.
Sabda Rasulullah SAW. "Urahu" berarti Aku mengira.
Hal ini tidak akan terjadi kecuali jika kebodohan telah tersebar luas dan ilmu telah musnah dari muka bumi. Adapun jika ilmu masih berdiri tegak, maka masalah ini masih ada kelonggaran. Apabila ini terjadi, maka ini adalah merupakan tanda-tanda datangnya hari kiamat, sebagaimana yang disebutkan dalam teks hadits.
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan beberapa pelajaran yang sangat berharga yang terdapat dalam hadits ini. Lihat Fathul Bari, jilid 1, halaman 142-143 dan jilid 11, halaman 334.
Pentingnya Orang Kepercayaan (Bithanah) Yang Saleh
Dari Abu Sa'id bin Al-Khudri ra. dari Nabi saw. berkata: "Allah tidak akan mengutus seorang nabi dan tidak akan memilih seorang khalifah melainkan di sekitarnya dua tipe orang kepercayaan, orang kepercayaan yang senantiasa menganjurkan dan mendorongnya untuk berbuat baik, dan pembantu yang menyuruh dan mendorongnya untuk berbuat buruk. Maka orang yang selamat adalah orang diselamatkan oleh Allah". (Bukhari, 7198).
Al-Bithanah adalah Ad-Dukhala' bentuk jamak dari kata dakhil, yang berarti orang yang dapat masuk ke dalam kamar pribadi pemimpin, dan pemimpin memberitahukan rahasianya kepadanya, mempercayai semua laporannya tentang keadaan rakyat, serta bertindak berdasarkan laporan tersebut.
Hadits ini mengandung hal-hal berikut: Segala sesuatu hanya Allah yang menetapkan. Dialah yang menyelamatkan hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dengan karunia dan kecurahan-Nya.
Hubungan antara para pemimpin dengan orang-orang kepercayaannya ada tiga tipe:
- Pemimpin yang selalu menerima dari orang kepercayaannya saran-saran yang baik dan tidak pernah menerima saran-saran yang buruk. Hal ini hanya pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah orang yang ma'shum.
- Pemimpin yang selalu menerima dari orang kepercayaannya saran-saran yang buruk dan tidak pernah menerima saran-saran yang baik. Hal ini terkadang dijumpai terutama bila pemimpin itu adalah orang kafir.
- Pemimpin yang terkadang menerima dari orang kepercaannya saran-saran yang baik, dan terkadang menerima saran yang buruk.
Di dalam hadits terdapat peringatan bagi para pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin untuk memilih menteri yang saleh, sebagaimana diriwayatkan oleh Ummul Mu'minin Aisyah radhiallahu 'anha dalam sebuah hadits marfu': "Barang siapa di antara kalian yang menjadi pemimpin dan Allah menghendaki kebaikan dalam tugasnya itu, maka Dia akan menjadikan baginya seorang menteri yang saleh, yang mengingatkannya apabila ia lupa dan membantunya ketika ia ingat. (Lihat Fathul Bari, jilid 13, halaman 189, 191.)
Di Antara Etika Islam Yang Agung
Dari Abu Said Al-Khudri ra. berkata: "Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam. bersabda: 'Orang yang derajatnya paling buruk pada hari kiamat adalah seorang suami yang menggauli istrinya, kemudian ia umbar (ceritakan) perihal hubungannya itu (secara detail) kepada orang lain.'" (Muslim, 1437)
Dalam Penjelasannya atas Sahih Muslim, jilid 10, halaman 8, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: "Hadits ini mengandung larangan bagi seorang laki-laki membeberkan segala sesuatu mengenai hubungan intim dengan istrinya secara detail, dan larangan menceritakan semua perbuatan dan perkataan istrinya." Adapun sekedar menyebutkan jima' secara umum tanpa ada keperluan atau faedah maka hukumnya makruh karena hal itu bertentangan dengan muruah. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah, hendaknya berkata yang baik atau diam."
Tetapi, jika diperlukan atau mendatangkan manfaat seperti menolak dakwaan bahwa dirinya tidak mau menggauli istri atau dakwaan bahwa dirinya lemah syahwat dan lain-lain maka tidak makruh.
Beberapa Sifat Yang Harus Dihindari
Dari Abdullah bin Amru ra., Nabi saw. bersabda: "Empat perangai apabila berada pada seseorang akan menjadikannya munafik tulen, dan apabila salah satunya berada pada seseorang, akan menjadikannya mempunyai salah satu sifat orang munafik, sampai meninggalkannya. Yaitu: Apabila diberi amanat ia khianat, apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia ingkar dan apabila bertikai ia berlaku curang." (Bukhari (34), Muslim (58)
Munafik adalah orang yang keadaan lahirnya (baik perkataan maupun perbuatan) tidak sesuai dengan apa yang ada dalam batinnya. Termasuk di dalamnya menggunakan Taqiyyah terhadap kaum Muslimin.
Apabila perbedaan itu dalam i'tikad iman, maka dia disebut munafik kafir, dan apabila dalam hal lain, dinamakan munafik amalan, baik yang berupa kegiatan mengerjakan atau meninggalkan. Munafik jenis ini mempunyai tingkatan yang berbeda-beda.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Sahih Muslim, jilid 2, halaman 47 mengatakan: "Makna (pengertian) yang benar dan yang tepat mengenai hadits ini adalah siafat-siafat tersebut merupakan sifat-sifat orang munafik, pelakunya mirip dengan orang munafik, dan berperangai seperti perangainya mereka, karena munafik adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang disembunyikan. Pengertian ini ada pada orang yang memiliki sifat-sifat tersebut. Dalam hal ini kemunafikannya hanya kepada orang yang berbicara dengannya, yang diberi janji, yang mempercayainya, dan yang bertikai dengannya, buka munafik yang berarti menampakkan keislaman secara lahir, dan dalam batinnya menyembunyikan kekafiran.
Sebagian ulama mengatakan: "Ini berlaku pada orang yang biasa (sering) melakukan sifat-sifat tersebut, adapun mereka yang melakukannya sesekali saja tidak termasuk dalam kategori ini."
Doa Nabi SAW:
قوله -صلى الله عليه وسلم-:
( اللهم لك الحمد أنت نور السماوات والأرض، ولك الحمد أنت قيَّام السماوات والأرض، ولك الحمد أنت رب السماوات والأرض ومن فيهن، أنت الحق، ووعدك الحق، وقولك الحق، ولقاؤك حق، والجنة حق، والنار حق، والساعة حق، اللهم لك أسلمت، وبك آمنت، وعليك توكلت، وإليك أنبت، وبك خاصمت، وإليك حاكمت، فاغفر لي ما قدمت وأخرت، وأسررت وأعلنت، أنت إلهي لا إله إلا أنت ) البخاري (الفتح) (13-371) ح (7385)، ومسلم (1-532) ح (769)، واللفظ لمسلم
[Allaahumma lakal hamdu Anta nuurus samaawaati wal ardli wa lakal hamdu Anta Qayyamus samaawaati wal ardli wa lakal hamdu Anta Rabbus samaawaati wal ardli wa man fiihinna Antal Haqqu wa wa'dukal haqqu wa qaulukal haqqu wa liqaauka haqqun wal jannatu haqqun wan naaru haqqun was saa'atu haqqun, Allaahumma laka aslamtu wa bika aamantu wa 'alaika tawakkaltu wa ilaika anabtu wa bika khaashamtu wa ilaika haakamtu faghfir lii maa qaddamtu wa akhkhartu wa asrartu wa a'lantu Anta Ilahi laa ilaaha illa Anta]
"Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Engkau adalah cahaya langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu. Engkau adalah pemelihara langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu. Engkau adalah Tuhan langit dan bumi serta semua yang ada padanya. Engkau adalah yang hak, janji-Mu adalah hak, firman-Mu adalah hak, perjumpaan dengan-Mu adalah hak, surga adalah hak, neraka adalah hak, hari kiamat adalah hak. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri. Kepada-Mu aku beriman. Kepada-Mu aku bertawakal. Ke pada-Mu aku kembali. Kepada-Mu aku mengadu. Kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah aku, ampunilah dosa-dosaku, baik yang telah lewat maupun yang akan datang, yang aku lakukan secara diam-diam maupun yang terang-terangan. Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau".
[Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitabnya, Fathul Bari, jilid 1, halaman 371, dengan hadits nomor 7385, dan oleh Muslim, jilid 1, halaman 532, hadits nomor 769. Lafadz hadits sesuai dengan riwayat Muslim]
Pengertian kata "Qayyam" dalam hadits tersebut seperti juga tertera dalam firman Allah "Al-Hayyul Qayyum" mencakup semua perbuatan, karena Allah adalah Dzat Yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan bantuan makhluk-Nya. Dialah Yang menciptakan semua yang ada di alam ini dan menjaga keberlangsungannya serta menyediakan segala fasilitas yang menunjang kelestariannya.
Keutamaan Amanat
Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallalu 'alaihi wasallam bersabda: "Termasuk salah seorang pemberi sedekah: Seorang bendahara Muslim yang jujur yang menyampaikan (menyalurkan) amanat kepada orang yang telah diamanatkan kepadanya secara sempurna dan dengan kerelaan hati (ikhlas)." (Diriwayatkan oleh Bukhari hadits no. 1438 dan Muslim hadits no. 1023.)
Makna hadits ini adalah bahwasanya orang yang ikut andil dalam melakukan (merealisakan) ketaatan (contohnya: orang yang menampung dan menyalurkan infak/sedekah - pen) akan mendapat pahala sebagaimana orang yang melakukan ketaatan memperoleh pahala. Hal ini bukan berarti orang yang melakukan ketaatan tadi terkurangi pahalanya, akan tetapi masing-masing mendapat bagian pahala berdasarkan amalan yang mereka usahakan dan tidak mesti kadar pahala tersebut sama persis. Artinya si pemberi sedekah mendapatkan pahala berdasarkan harta yang telah dia infakkan dan orang yang menyalurkan sedekah disertai amanahpun memperoleh pahala berdasarkan usahanya tanpa mengurangi pahala si pemberi sedekah sedikitpun.
Imam Nawawi, dalam kitabnya, Syarah Sahih Muslim, jilid 2, hal 202, mengatakan: "Ketahuilah bahwa seorang amil (penyalur sedekah) atau bendahara dalam pelaksanaan tugasnya harus mendapatkan izin dari pemilik harta terlebih dahulu, jika tidak, bukannya yang akan dia peroleh, malah dia akan menuai dosa."
Ibnu Hajar berkata (dalam Fathul Bari, 3/203): Bendahara yang dimaksud harus memenuhi kriteria berikut:
Pertama, Muslim, seorang kafir tidak termasuk dalamnya, karena niatnya bukan karena Allah.
Kedua, jujur, maka seorang pengkhianat tidak termasuk dalam kategori ini, karena dia adalah orang yang berdosa.
Ketiga, ikhlas karena Allah, karena tanpa keikhlasan usahanya akan sia-sia.
Setiap Perbuatan Baik Adalah Sedekah
Diriwayatkan dari Abu Musa radhiallahu 'anhu: Bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap muslim itu harus bersedekah", para sahabat bertanya: "Bagaimana jika dia tidak memiliki sesuatu (harta) yang akan disedekahkannya?" Beliau menjawab: "Hendaklah ia bekerja hingga memeproleh hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan dengannya ia dapat bersedekah", mereka bertanya lagi: "Jika ia tidak sanggup melakukannya?" Rasulullah menjawab: "Hendaklah ia membantu orang yang membutuhkan pertolongan", mereka kembali bertanya: "Jika hal itu tidak sanggup ia lakukan?" Rasulullah menjawab: "Hendaklah ia memerintahkan suatu kebaikan" mereka bertanya: "Jika itupun tidak sanggup ia lakukan?" Rasulullah menjawab: "Hendaklah ia menahan diri dari berbuat mungkar dan itu merupakan sedekah baginya." (Diriwayatkan oleh Bukhari (no hadits 6022) dan Muslim (no hadits 1008)
Setiap Muslim harus bersedekah: yaitu dalam hal yang berhubungan dengan akhlak yang mulia. Dan secara ijma' dikatakan bahwa hal itu bukan merupakan fardu. Makna asal sedekah adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang secara sukarela. Namun adakalanya diartikan dengan sedekah wajib, karena pemilik harta selalu menjaga ketulusan (shidq) dengan sedekahnya ini.
Hadits ini menunjukkan bahwa segala kebaikan yang diperbuat atau diucapkan oleh seseorang niscaya akan ditulis sebagai suatu sedekah. Begitu pula dengan menahan diri dari perbuatan mungkar.
Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk bekerja, agar seseorang memperoleh hasil yang dengannya ia mampu menafkahi dirinya dan bersedekah, serta menjauhkannya dari kehinaan meminta-minta.
Di dalamnya terdapat perintah untuk melakukan kebaikan sedapat mungkin, dan bahwa orang yang bertujuan untuk melakukan perbuatan baik, kemudian dia mendapatkan kesulitan, maka hendaknya dia berpindah kepada perbuatan baik lainnya.
Beberapa Tanda Kenabian Muhammad saw.
عن أبي سفيان بن حرب -رضي الله عنه- في قصته مع هرقل أن هرقل قال: ( وسألتك بم يأمركم؟ فذكرت أنه يأمركم أن تعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا، وينهاكم عن عبادة الأوثان، ويأمركم بالصلاة والصدق والعفاف. فإن كان ما تقول حقا فسيملك موضع قدمي هاتين ) الحديث (البخاري ح 7) ، (مسلم ح 1773)
Dari Abu Sufyan ra. dalam kisahnya dengan Hiraklius. Hiraklius Berkata: "Aku bertanya kepadamu, 'Apa yang dia perintahkan kepadamu?' kamu menjawab bahwa dia memerintahkanmu menyembah Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan melarang kalian menyembah berhala, memerintahkan kamu sekalian mengerjakan salat, jujur, dan 'iffah. Bila apa yang kamu katakan ini benar, maka ia akan menguasai tempat pijakan dua kakiku ini.(Diriwayatkan oleh Bukhari, 6. Dan Muslim, 1773)
'Afaf adalah menahan diri dari sesuatu yang haram dan perangai yang tidak terpuji.
Nas hadits di atas adalah sebagian dari sebuah hadits yang panjang, yang mencakup pokok-pokok ajakan Muhammad saw. untuk menganut Ajaran tauhid. Yaitu dengan tulus ikhlas hanya menyembah Allah semata, melarang menyembah selain-Nya, mengajak melakukan salat dan perintah-perintah dalam Islam lainnya. Juga mengandung kebenaran yang ditemukan oleh Hiraklius setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada Abu Sufyan ra, bahwa semua itu merupakan sifat-sifat Rasulullah saw yang terdapat dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada Nabi-nabi mereka.
Nawawi dalam kitabnya "Syarah Sahih Muslim, jilid 12, halaman 107 mengatakan: "Para ulama berkata: 'Apa yang dikatakan oleh Hiraklius, diambilnya dari kitab-kitab lama, di dalam Taurat sifat ini dan sejenisnya termasuk tanda-tanda kerasulan Muhammad saw. Dari tanda-tanda itu ia mengetahuinya'".
Allah telah menyebutkan tentang Ahli kitab, bahwa mereka mengetahui tentang Muhammad SAW. Yang mana sifat-sifatnya telah disebutkan dalam kitab-kitab mereka.
Allah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءهُمْ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
"Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Alkitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui".(QS Al Baqarah [2]:146).
Urgensi Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran.
Dari Huzaifah bin Yamani ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh kalian harus menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari kemungkaran atau Allah akan mempercepat azab dari-Nya lalu kalian berdoa tetapi tidak akan dikabulkan." (Tirmizi, hadits nomor 2169).
Makruf adalah nama untuk semua bentuk ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, berbuat baik kepada manusia, dan segala sesuatu yang disunahkan dan dimakruhkan.
Hadits ini menyatakan bahwa salah satu dari dua hal pasti terjadi:
Amar makruf (menyuruh kepada kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran), atau diturunkannya azab dari Allah dan tidak dikabulkannya doa.
Dalam hal ini, ancaman yang keras terhadap melalaikan kewajiban amar ma'ruf, nahi mungkar. Bahwa jika azab diturunkan, maka akan mengenai yang saleh dan yang jahat.
Amar ma'ruf, nahi mungkar wajib dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang berada di bawah tanggung jawabnya, seperti penguasa terhadap rakyatnya, seorang bapak terhadap orang-orang yang di bawah tanggungannya. Setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.
Demikianlah topik kita kali ini, dengan harapan semoga ada hikmahnya bagi kita sekalian.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". (QS Al-Ahzab [33[:56)
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Allah! Berilah shalawat untuk Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau memberi shalawat untuk Ibrahim. Berkatilah Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau memberkati Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
[Muttafaqun ‘Alaihi]
Simak juga artikel terkait dengan
dajjal dan ciri-ciri munafik: [
1], [
2]
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar