BAB - I
ASAL SEGALA SESUATU ADALAH MUBAH
DASAR PERTAMA yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang
dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram,
kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang
membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya.
Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis
lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram,
maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu
asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat
al-Quran yang antara lain:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (QS al-Baqarah [2]: 29) "
وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مِّنْهُ
(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya." (QS al-Jatsiyah [45]: 13)
أَلَمْ
تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk
kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia
telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang
tidak nampak." (QS Luqman [31]: 20)
Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada
manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau
tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia
kurniakannya?
Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan nanti.
Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat
sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini
adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya
sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan
halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan
termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah.
Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal,
dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa
yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu
terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak
bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa. [2] (Riwayat Hakim dan Bazzar)
"Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan
keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu
yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah:
sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan,
maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi
dan lbnu Majah)
Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan
menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu
kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah,
sedang lainnya halal dan baik. Dan sabda beliau juga,
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan
kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka
jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka
jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal
sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu
adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi
meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada
urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau
Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat,
kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan
dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (QS al-An'am [6]: 119)
Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama
yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka
terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:
"Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:
- Hanya Allah lah yang disembah.
- Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul
dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang
harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah
yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.
Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi
manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal
ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan
mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan
dan mudharat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap manusia,
baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah
untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat
mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya
pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang
telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara' itu
sendiri."
Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi
kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan,
semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah
dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan,
kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang
mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah,
bagaimana mungkin dihukumi terlarang.
Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam
urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul).
Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau
ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti
kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?" (QS as-Syura [42]: 21)
Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang
terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian,
maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:
قُلْ
أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ
حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ
تَفْتَرُونَ
"Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan
Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu
haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu,
ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?" (QS Yunus [10]: 59)
Ini adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu
pula kami berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan
lain-lain adat yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan
mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama membawakan beberapa
etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa
bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak,
dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.
Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan
sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh
syara'. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia
itu tidak diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh
syara' kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu
yang oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan
menurut kemutlakan hukum asal.[3]
Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
"Kami pernah melakukan 'azl' [4], sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan melarangnya."
Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah
terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang
melarang dan mencegahnya.
Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.
Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: "Soal ibadah tidak
boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan
suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang
diharamkan oleh Allah."
Sumber: Dr. Yusuf Qaradhawi | Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 | Digitalisasi: Media Isnet | Index CATATAN KAKI[1]. Ali-Imran.
[2]. Maryam.
[3]. Qawaidun Nuraniyah al-Fiqhiyah oleh Ibnu Tarmiyah, hal 112-113.
[4]. 'Azl yaitu mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika bersanggama.
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar