BAB - II
MENENTUKAN HALAL-HARAM SEMATA-MATA HAK ALLAH
DASAR
kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk
menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari
tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam
bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.
Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak
menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah
melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan
perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima
serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu
sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik".
Firman Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka itu mempunyai sekut "Apakah mereka itu mempunyai
sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan
Allah?" (QS as-Syura [42]: 21)
Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah
memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan
halal dan haram, dengan Firman-Nya sebagai berikut:
اتَّخَذُواْ
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ
ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ
إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan
selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan),
padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada
Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari
apa-apa yang mereka sekutukan." (QS at-Taubah [ ]: 31)
'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah
--pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam--
setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah
Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi s.a.w.:
"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan
haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram,
kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada
mereka." (Riwayat Tarmizi)
"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyembah pendeta dan pastor,
tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun
ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan
sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga."
Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah
memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu
penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka
hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai
berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat
di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu
lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga."
Al-Quran telah meng-cap juga kepada orang-orang musyrik yang berani
mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya
sebagai berikut:
قُلْ
أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ
حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ
تَفْتَرُونَ
"Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan
untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya
itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin
kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?" (QS Yunus [10]: 59). Dan firman Allah juga:
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh
lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya
kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang
berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (QS an-Nahl [16]: 116)
Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli
fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak
menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun
melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya
menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firman-Nya:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
"Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (QS al-An'am [6]: 119)
Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini
boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam
ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha
untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram
(mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).
Imam Syafi'i dalam al-Um [5] meriwayatkan,
bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya
jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka
berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut
apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan
tafsiran.
Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari
ar-Rabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar--
dia pernah berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang
laki-laki yang berkata: "Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau
meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan
ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah
mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia."
Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah
menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih
golongan tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang
kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau
melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa.
Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram,
betapakah besarnya persoalan ini!
Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang
kemudian diambil juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini
sama juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah: "Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan
haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti."[6]
Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang
sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu
tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak
menganggap dia itu baik.
Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.[7]
Sumber: Dr. Yusuf Qaradhawi | Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 | Digitalisasi: Media Isnet | Index
CATATAN KAKI
[5] Al-Um 7:317.
[6] Ini dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa mereka itu tidak meninggalkan khamar (arak) secara keseluruhannya setelah ayat al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam anggapan mereka tidak qath'i (positif) mengharamkan arak, sehingga ayat al-Maidah itu turun, baru mereka menjauhi seluruhnya.
[7] Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan ini "haram" yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar