Dalam kehidupan sehari-hari kita kerap mendengar sebutan Al Marhum (orang yang mendapat rahmat) diberikan kepada seseorang yang sudah meninggal dunia, sehingga sebutan ini seakan sudah melekat menjadi sebuah gelar.
Bagaimanakah pandangan ulama mengenai penyebutan kalimat ini?
Al-Lajnah ad-Da-Imah Lil Buhuts al-Ilmiyah Wal Ifta' (Komite Fatwa dan Pembahasan Ilmiah), yang di ketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullaah bin Baz berkomentar:
Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang yang meninggal dunia itu merupakan perkara ghaib. Di mana yang tahu hanyalah Allah dan makhluq yang di beritahu oleh Allah, seperti Malaikat dan para Nabi-Nya. Adapun pemberitaan kepada selain Malaikat dan para Nabi tentang mayit bahwa ia sudah mendapatkan rahmat atau ampunan, merupakan sesuatu yang tidak boleh, kecuali orang yang memang sudah dijelaskan nash-nya dari Nabi SAW. Maka jika berani berbicara tanpa nash, berarti telah berlaku lancang atas sesuatu yang ghaib, padahal Allah SWT berfirman;
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
"Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah, dan mereka tidak tahu kapan mereka akan dibangkitkan." (QS.An-Naml [27]: ayat 65)
Firman-Nya yang lain;
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداًإِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
"(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu." Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya." (QS.Al-Jin [72] ayat 26-27)
Rasulullah SAW juga bersabda: "Demi Allah, biarpun aku seorang Rasul Allah, namun aku tidak tahu apa yang akan di perbuat Allah terhadapku." (Shahih Bukhari II/No. 650 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, cet. ke-9, 1981 M). Ucapan ini beliau sampaikan sebelum Allah menurunkan ayat berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحاً مُّبِيناًلِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً
"Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni'mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus." (QS.Al-Fath [48] ayat 1-2).
Juga sebelum Allah memberitahukan bahwa Beliau termasuk penghuni surga. Dengan demikian pemberian sebutan Al-Marhum atau Al-Marhumah dengan maksud sebagai pemberitaan tentang keadaan si mayit bahwa ia telah mendapatkan rahmat dari Allah SWT adalah HARAM!
Mengapa? Sebab ucapan ini sama artinya dengan memastikan bahwa si fulan atau si fulanah sudah menjadi penduduk surga. Padahal ini termasuk perkara ghaib yang hanya di ketahui oleh Allah SWT dan orang-orang atau makhluk lain yang diberitahu oleh-Nya saja.
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah berkeyakinan, sesungguhnya tidak diperbolehkan memberikan persaksian atas diri seseorang bahwa orang itu di surga atau di neraka kecuali yang telah di jelaskan dalam nash al-Qur'an seperti Abu Lahab (sebagai penghuni neraka), dan orang yang di persaksikan kepada Nabi SAW sebagai penghuni surga seumpama sepuluh shahabat, atau yang semisalnya.
Jika demikian, maka sebutan apakah yang benar?
Demi menghindari kesalahan lebih jauh dalam pemahaman perkara ini, maka sudah sepatutnyalah sebutan Al Marhum atau Al Marhumah yang selama ini kita kenal segera diganti menjadi Allahu Yarhamuhu atau Ghafarallahu atau Rahimahullaah atau sejenisnya yang bersifat mendoakan, bukan memastikan. [Lihat Fatawa Al-Lajnah ad-Da-Imah Lil Buhuts al-Ilmiyah Wal Ifta', 2/159-160]
Wallahu'alam bishawwab.
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar