Saya masih ingat ketika masih berstatus pelajar sekolah menengah al-Azhar di Madrasah al-Azhar cabang Thantha. Di kota Thantha itu terdapat makam sayyid Ahmad Badawi yang terkenal itu. Di antara syekh kami ada yang menghabiskan sebagian besar siang dan malamnya di samping makam sayyid Badawi. Saya pernah berdialog dengan salah seorang syekh kami tersebut, seorang ahli fiqih mazhab Hanafi, namun ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang menyakralkan tasawuf dan para wali.
Saat itu, ia sedang mengajarkan kepada kami bab al-Udhhiah 'kurban' (dan saya saat itu adalah orang yang senang mengaitkan fiqih dengan kehidupan sehari-hari). Saya berkata kepadanya, "Pak guru, saat ini, masyarakat sudah melupakan sunnah ini sehingga orang yang berkurban amat sedikit sekali. Saya pikir para syekh bertanggung jawab dalam masalah ini dan mereka dapat memperingatkan masyarakat untuk memperhatikan sunnah ini." Syekh kami itu menukas, "Hal itu terjadi karena kemampuan finansial masyarakat saat ini lemah." Saya kembali berkomentar, "Namun, dalam kesempatan lain, mereka malah berkurban untuk sesuatu yang bukan sunnah." Mendengar itu ia bertanya, "Apa yang engkau maksud?" Saya menjawab, "Maksud saya, mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi. Saat peringatan itu, masyarakat menyembelih puluhan, bahkan ratusan atau ribuan domba, sementara pada Idul Adha amat sedikit yang berkurban. Seandainya para syekh mengarahkan masyarakat untuk menghidupkan sunnah berkurban ini, yaitu sebagai ganti mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi maka mereka berkurban pada hari Idul Adha, niscaya dengan itu mereka telah menjalankan Sunnah. Sekalipun mereka tidak menyedekahkan sedikit pun dari kurban mereka, namun semata mengalirkan darah kurban pada hari itu sudah menjadi bentuk penghidupan syiar Islam. "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah." (QS al-Kautsar [108]: 2)
Setelah saya berkata seperti itu, guru saya langsung marah kepada saya dan mengeluarkan saya dari ruang kelas. Ia kemudian menganggap saya sebagai pembuat onar yang membenci para wali serta kaum shalihin.
Ini mengingatkan saya pada satu pernyataan bahwa setiap kali suatu kaum menghidupkan bid'ah dan menyibukkan diri mereka dengan bid'ah itu, niscaya saat itu pula mereka mematikan sunnah sejenis. Inilah salah satu rahasia mengapa bid'ah diperangi dalam Islam.
BID'AH DALAM AGAMA MEMBUAT MANUSIA TIDAK KREATIF
DALAM URUSAN-URUSAN KEDUNIAAN
Bid'ah, seperti telah kami sinyalir sebelumnya, adalah "jalan beragama yang dibuat-buat". Pada dasarnya, manusia harus mengembangkan kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun karena manusia telah mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam urusan-urusan agama maka ia tidak lagi dapat berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Oleh karena itu, generasi Islam yang pertama banyak menelurkan kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan memelopori banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, mereka dapat membangun peradaban yang besar dan tangguh yang menyatukan antara ilmu pengetahuan dan keimanan, antara agama dan dunia. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada masa itu, seperti ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, dan sebagainya menjadi ilmu-ilmu yang dipelajari di seluruh dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum muslimin.
Mayoritas motif yang melatarbelakangi kaum muslimin generasi pertama untuk menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi adalah motif agama. Apakah Anda mengetahui mengapa al-Khawarizmi menciptakan ilmu aljabar? Ia menelurkan ilmu itu untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu dalam bidang wasiat dan warisan. Tentang warisan, juga wasiat, sebagian darinya memerlukan hitung-hitungan matematika. Oleh karena itu, al-Khawarizmi menulis bukunya yang berbicara tentang ilmu aljabar dalam dua juz; juz pertama tentang wasiat dan warisan, juz kedua tentang aljabar.
Saat Dr. Musa Ahmad dan kelompoknya mentahqiq kitab al-Khawarizmi itu, mereka memberikan anotasi-anotasi pada juz yang berbicara tentang aljabar, sedangkan pada juz yang berbicara tentang wasiat dan warisan, mereka berkata, Kami tidak memahaminya dan kami tidak mengerti sedikit pun apa yang tertulis di dalamnya." Pada masa generasi pertama Islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan agama. Tidak ada dikotomi (pembagian / pencabangan) diantara keduanya.[37]
Para ilmuan dan dokter saat itu juga berstatus ulama dalam bidang agama. Ibnu Rusyd, pengarang kitab al-Kulliyyat dalam bidang kedokteran, adalah juga seorang qadhi, pengarang kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul-Muqtashid dalam bidang fiqih. Kitab itu merupakan kitab fiqih komparatif yang paling baik.
Yang aku ingin tekankan adalah, kaum muslimin pada masa keemasan Islam, dalam bidang agama, mereka semata berpegang pada nash dan Sunnah, sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan, mereka berkreasi, menciptakan hal-hal baru, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penemuan yang telah ada. Sementara, pada masa kemunduran Islam, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang banyak sekali menciptakan hal-hal baru dalam bidang agama, sementara beku dan statis dalam bidang-bidang keduniaan. Mereka (kaum muslimin era kemunduran Islam) berkata, "Generasi pertama Islam sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk menciptakan hal-hal baru dan kita sama sekali tidak dapat melakukan seperti apa yang mereka telah perbuat." sehingga, kehidupan umat Islam menjadi beku dan statis, seperti air yang terjebak tak bergerak dan berubah menjadi busuk. Dengan demikian, pengingkaran perbuatan bid'ah dalam bidang agama bermakna menyiapkan energi manusia untuk berkreasi dan mengembangkan urusan-urusan keduniaan.
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar