BAB - III
MENGHARAMKAN YANG HALAL DAN MENGHALALKAN YANG HARAM SAMA DENGAN SYIRIK
KALAU
Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal
itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka
yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena
memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan
penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah
diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena ada beberapa
pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan
berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah
dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan
tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:
"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran
(lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua
sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang
akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman
Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi
kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu
yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan
dengan syirik. Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap
sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala
mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri
mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak
mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta
betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang
dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh)
dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan
buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina
beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta
tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka
peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani
muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut
al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit
dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis
seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka
namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya
itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan
buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka
mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang
jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing
seperti ini disebut washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka
katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut
tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti
ini disebut al-Haami.
Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut.
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak
menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya
dalam kesesatan ini. Firman Allah:
مَا
جَعَلَ اللّهُ مِن بَحِيرَةٍ وَلاَ سَآئِبَةٍ وَلاَ وَصِيلَةٍ وَلاَ حَامٍ
وَلَـكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ
وَأَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ
آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang
kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka
itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada
apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab:
Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami;
apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya
itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (QS al-Maidah [5] : 103-104)
Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap
prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti:
unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata al-Quran:
ثَمَانِيَةَ
أَزْوَاجٍ مِّنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ قُلْ
آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الأُنثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ
أَرْحَامُ الأُنثَيَيْنِ نَبِّؤُونِي بِعِلْمٍ إِن كُنتُمْ
صَادِقِينَوَمِنَ الإِبْلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ
آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الأُنثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ
أَرْحَامُ
"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari
kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah
kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang
betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina
kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika
kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan
dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya
yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (QS al-An'am [6]: 143-144)
Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu
penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan
dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa
pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi
sebagai berikut:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang
telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu?
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
"Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang
timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang
tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan
sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (QS al-A'raf [7]: 32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang
diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di
akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam
pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian,
tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada
orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan
dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka
Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka
dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan
yang lempang.
Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ
اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ
"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa
yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas,
karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka
melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan
kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang
kamu beriman dengannya." (QS al-Maidah [5]: 87-88) [5].
++ Referensi hadits silahkan baca di sini
Sumber: Dr. Yusuf Qaradhawi | Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 | Digitalisasi: Media Isnet | Index CATATAN KAKI
[5] Al-Um 7:317.
0 KOMENTAR:
Tulis Komentar